Di Kota Seribu Masjid, Aku Menyuap Tuhan dengan Sepuluh Ribu Rupiah
![]() |
ilustrasu |
Terasvita.com – Ini cerita delapan tahun silam. Persisnya pada awal Juli 2013. Ketika itu, saya harus meninggalkan Wontong, tempat beta dilahirkan dan dibesarkan ibunda, untuk pergi ke Jakarta.
Saya
ke Jakarta bukan untuk menjadi artis di ibu kota, Pembaca; melainkan untuk melanjutkan
formasi menjadi semakin manusia, kata Iksan Skuter dalam lirik “Bingung”.
Lupa
persis hari dan tanggal pada bulan ketujuh tahun itu, KMP jurusan Sape, NTB, melepaskan
sauh di dermaga Labuan Bajo, NTT. Jamnya saya ingat: Pukul 09.00 WITA. Saat
itu, langit Labuan Bajo tampak cerah, di batas cakrawala tergurat sisa-sisa
awan pagi.
Kapal
yang membawaku itu pun pelan-pelan melepas jauh dari dermaga. Satu, dua, tiga
jam perjalanan, daratan Labuan Bajo raib dari tatapan mata. Sayonara, Tanah
Kelahiran! Begitu saya bergumam. Tetapi, hanya dalam hati, tak kuat aku
mengucapkannya.
Dua
teman seperjalanan, Iki Santrio OFM dan Emanuel Sele, juga sepertinya mengalami
perasaan serupa: rindu yang dalam akan orang-orang tercinta di kampung halaman.
Maklum. Baru pertama kali memilih “bermain” jauh. Di rimba raya Jakarta pula.
Saya melihat keduanya duduk dengan tatapan kosong pada debur ombak di kiri dan
kanan kapal.
Usai
8 jam perjalanan, kami tiba di Pelabuhan Sape, pukul 17.00 WITA. Manusia
berjubelan di situ, yang datang dan pergi. Juga yang berjualan mencari sesuap
nasi: penjual nasi kucing, air minum, buah-buahan, dan banyak lagi. Ada juga
pengemis di emperan dermaga. Singkat kata, ada banyak kepentingan yang
bertarung di situ, tak beda jauh dengan manusia yang berjubelan di Senayan
sana.
Sekitar
1 jam kami di pelabuhan itu. Kemudian, Dunia Mas, sebuah bus berukuran sedang,
membawa kami ke Bima, tempat bus yang akan mengantar kami ke ibu kota. Jalanan
agak mulus, kendati berlekak-lekuk. Dentum suara musik khas era Nike Ardila
menemani perjalanan itu.
Kami
lalu tiba di Bima, pukul 18.00 WITA. Di situ, suara kumandang Magrib
bertalu-talu di gendang telinga. Dan, itu sesuatu banget, Pembaca; berbeda di
kampung halaman saya yang sama sekali tidak ada "suara simponi bala malaikat
surga" itu; juga mengingatkan saya bahwa saya sedang berdiri di tanah orang saat
itu.
Setibanya
di Terminal Umum Bima, kami memindahkan barang-barang ke bus yang akan membawa
kami ke ibu kota. Ada seorang bocah, buruh di terminal itu yang sigap membantu
kami. Awalnya kami kira kerja sukarela, ternyata ujung-ujungnya minta bayar.
Memang benar kata orang-orang; tidak ada yang gratis di dunia ini.
Urusan
pemindahan barang pun selesai. Kami lalu mengisi perut dengan nasi goreng. Pembaca, sekadar untuk tahu bahwa soal makanan, perut saya tidak begitu ramah dengan yang pedas-pedas, sehingga
kepada penjual nasi goreng itu, saya meminta untuk memasukkan cabe sama sekali.
Well,
nasi goreng di piring kami masing-masing habis, tanpa menyisakan satu remah
pun. “Kesa, membuang satu remah nasi sama dengan merampas hak orang miskin,”
kata Iki Santrio mengutip pernyataan Paus Fransiskus, setiap kali kami memulai
makan.
“Ok.
I know, Kesa. Tetapi, terima kasih untuk kesetiaan mengingatkan. Karena,
bagaimanapun niat baik selalu berangkulan dengan kerapuhan insani,” balasku
mengutip pernyataan seorang penulis rohani.
Sementara
kami basi-basi, kondektur Dunia Mas meminta kami untuk masuk bus. “Ayo masuk,
kita akan berangkat,” kata pria gempal dan sedikit kumal itu.
Lalu,
kami pun masuk. Saya menempati kursi no. 22 sesuai nomor yang tertera di ticket.
Sementara kedua teman saya duduk di kursi nomor kecil.
“Ya
permisi, asaimulaikum semuanya, Pak Sopir, Pak Kondektur, Bapa dan Ibu
Penumpang: Daripada kita membunuh, narkoba, memperkosa, dan tindakan kriminal
lainnya, mending kita ngamen,” kata laki-laki kurus-dekil, yang layak di
kasihani. Ia persis berdiri di hadapanku lalu menyanyikan sebuah lagu.
Seusai
menyanyi, dia menyodorkan topi dekilnya. Ada yang mengabaikannya dan ada pula
yang mengisinya dengan lembaran-lembaran berharga: uang. Saya memberinya
lembaran sepuluh ribu rupiah. Dia terperanjat kegirangan lalu segera
meninggalkan bus itu. Entah.
“Oiss….
lembaran merah oooo,” kata Sasa dari kursinya ketika saya memberi lembaran ssepuluh
ribu rupiah, kembalian beli nasi goreng.
Pembaca
yang budiman… Anda pasti berpikir saya sedang mengasihani pengamen itu. Bukan.
Bukan. Aku sedang menyuap Tuhan. Dalam benakku, aku perlu mengasahani orang
ini, supaya Tuhan juga mengasihaniku. Sedangkal itu imanku. Menyedihkan, bukan?
Lalu,
mengapa berpikir untuk menyuap Tuhan, di kota “seribu Masjid pula”? Begini,
Pembaca: saya tidak punya kelengkapan administratif perjalanan itu. KTP tidak
punya, surat keterangan juga tidak punya. Di dompet pemberian ayahku, hanya ada
selembar kertas bukti saya pernah check up kesehatan di Rumah Sakit St.
Rafael, Cancar, Ruteng.
Tetapi,
gimana ceritanya sampai tak punya KTP? Lalai? Tidak. Begini kisahnya: Seusai menjalani tahun
Postulat selama 10 bulan di Pagal, Manggarai, kami diberi kesempatan berlibur.
Selain untuk bertemu keluarga, juga untuk mengurusi kelengkapan administratif
kependudukan untuk keperluan perjalanan dan studi di ibu kota.
Saya betul-betul memanfaatkan kesempatan itu sesuai peruntukannya. Satu,
menikmati the quality time bersama keluarga. Karena, bagaimanapun, keluarga
adalah suaka, tempat pulang jiwa dan raga yang paling nyaman. Sesederhana apa
pun keluarga, kalau cinta bertumbuh di dalamnya, tidak ada lagi tempat yang
bisa menggantikannya dunia ini. Bukankah begitu, hei Pembaca?
Kedua,
mengurus surat penduduk. Dari tingkat RT sampai kabupaten (Mabar-red). Kecuali
di level kabupaten, yang menyebabkan saya berangkat tanpa surat ke ibu kota,
semuanya berjalan lancar.
Di
tingkat kabupaten, saat itu problemnya adalah Kepala Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil untuk menandatangani surat tersebut sedang berada di luar kota.
Sementara di satu sisi, saya tidak punya waktu yang cukup untuk menunda
perjalanan.
Setelah
menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk tetap berangkat, apa pun yang terjadi.
Entah roh apa yang membisik di labirin jiwa saya, saya tidak tahu. Akan tetapi,
ada semacam keyakinan, barangkali naif, bahwa saya harus berangkat dan selama
perjalanan akan baik-baik saja. Begitu kira-kira…
Pembaca,
back to cerita awal ke berangkatan dari Terminal Bima. Malam itu, kami
menyusuri jalan panjang dari Bima menuju Jakarta, ditemani semilir angin malam.
Perasaan saya masih dihantui dengan apa yang akan terjadi setibanya di Lombok,
tempat yang sejauh informasi akan memeriksa KTP.
Malam
itu, saya sempat menanyakan kepada salah seorang penumpang. Namun, jawabannya
bukan melegakan, melainkan malah membuat degub jantung saya bergetar kencang,
melampaui batas normal.
“Ya…Mas
bisa disuruh pulang atau ditahan nanti,” begitu kata laki-laki tinggi-besar
itu, tanpa memberi solusi. “Ahh… betapa sialnya aku menanyakan pada orang jenis
ini,” begitu kataku dalam hati.
Saya
mengabaikan jawaban laki-laki itu, yang relasinya dengan saya selain karena
keterciptaan, juga sebagai sesama penumpang. Tidak kurang dari itu. Kendati demikian,
saya tetap menaruh hormat padanya, sebagaimana saya bersikap pada orang-orang
yang meminta-minta di pinggir jalan dan orang-orang yang duduk anggun di kursi
panas kekuasaan dari level presiden sampai level RT.
Seusai
satu hari meninggalkan Bima, kami lalu di tiba di Lombok. Di titik yang biasanya
mengecek dokumen kependudukan itu saya tertidur. Dan saya kelagapan ketika dua
retina saya menatap dua orang berbaju coklat masuk bus dan menanyakan KTP
kepada setiap penumpang.
Pembaca
yang budiman, ketika polisi
itu sampai pada tempat duduk Sdr. Emanuel Sele, ia menanyakan KTP dan berbagai
surat lain.
“Pak,
kami (sambil menunjuk ke arah saya dan Iki) ke Jakarta, dan sampai di sana baru
kami akan mengurus KTP. Kami hanya bawa Surat Keterangan ini,” kata Sasa,
sapaannya, dengan logat khas Bajawa-nya. Polisi itu melihat sebentar Surat
Keterangan itu kemudian berpindah ke penumpang lain.
“Boleh
ditunjukkan KTP-nya?”’ pinta polisi itu ketika berada di kursi duduk saya.
“Sama dengan yang di depan, Pak,” jawabku sambil menunjuk ke arah Sasa. Polisi itu mengangguk lalu beralih ke penumpang lain, hingga selesai dan dia tidak menemukan ada yang tidak beres dari semua penumpang dalam bus itu.
Persoalan KTP pun berakhir di situ: Apakah karena saya beri uang 10 ribu rupiah kepada pengamen itu, sehingga saya terbebaskan dari "dakwaan" dengan tuduhan tidak punya barang yang begitu " kramat" itu? Entah... Cara kerja rahmat dan "nasib baik" tidak selalu mudah dipahami.
Yang pasti, Tuhan tidak tergoda karena ''lembaran sepuluh ribu rupiah" yang saya berikan kepada orang yang paling hina itu (si pengemis-red), kendati Sang Sabda yang menjadi manusia mengatakan,"Apa yang engkau lakukan untuk salah seorang yang paling hina di dunia, itu engkau lakukan untuk Aku" (lih. Mat. 25:40).
Kami lalu terus menapaki jalan ke Jakarta di atas roda bus. Beberapa kali kami harus menyeberangi dengan kapal hingga dua hari setelah dari Lombok itu, kami tiba di Jakarta dengan sehat walafiat.
Masih ada cerita unik dalam seluruh rangkain perjalanan yang memukau dan aku yang terpukau kala itu. Pada edisi lanjutan cerita ini, akan kuceritakan: “Dua Perempuan Penjual Obat Kuat di Terminal Surabaya”. Sampai jumpa…
Leave Comments
Post a Comment