Uskup Mikael OFM: Pensiun Bukan Akhir Hidup Seseorang
![]() |
Mgr. Mikael Cosmas Angkur OFM. Foto: istimewa |
Terasvita.com– “Pensiun bukanlah akhir hidup seseorang, melainkan suatu masa untuk memulai
suatu hidup baru.”
Itulah
jawaban Mgr. Mikael Cosmas Angkur OFM, Uskup Emeritus Bogor, tatkala dirinya
ditanyai umat tentang apakah ia merasa bahagia dan senang dengan pensiun.
“Saya
pensiun di Labuan bajo di tengah sebuah desa yang terpencil. Dan, saya
menikmati masa pensiun ini,” tambah Uskup yang pernah menjabat Provinsial
pertama Ordo Fransiskan Indonesia itu, di kanal Youtube OFM Indonesia, yang
diunggah pada 28 November 2020.
Mgr.
Mikael tetap melayani umat yang datang mencari oase rohani, seperti
konsultasi, pengakuan, retret, rekoleksi, dll. “Saya ingin hidup tidak berhenti, tidak ada stagnasi, pelayanan itu
masih saya jalankan dan saya nikmati juga,” katanya.
Selain
itu, lanjut Uskup kelahiran Lewur, Manggarai itu, ada juga umat yang bertanya:
“Mengapa Monsignor menikmati masa pensiun itu? Bukankah orang sering mengatakan
post power syndrom yang sering dialami oleh orang tua yang baru saja
meletakkan jabatan?”
Terhadap
pertanyaan tersebut, Fransiskan yang ditahbiskan menjadi uskup pada 1994 itu
tegas menjawab, “Tidak. Saya tidak mengalami post power syndrome.”
Adapun
post power syndrome, yaitu gejala yang banyak dialami orang yang sudah berkuasa
dan tiba-tiba kehilangan kekausaan yang berdampak penurunan kondisi fisik,
mudah marah, mudah terseinggung, suka memberi kritikan, dll (Prawitasari,
2002).
Hal
itu, kata dia (Uskup Mikael-red), karena selama bertugas, ia tidak menempatkan
diri sebagai orang yang berkuasa, “tetapi saya merasa diri sebagai orang biasa
dan sederhana.”
Jabatan
sebagai Uskup Bogor, kata Mgr. Mikael, tidak pernah ia cita-citakan. “Saya
memang mendapat tugas sebagai uskup itu di luar perencanaan saya sama sekali.”
Mengisi
Masa Pensiun
Uskup
Mikael mengatakan, masa pensiun yang dialaminya bukan sesuatu yang datang
tiba-tiba, melainkan sudah dipikirkan secara matang dan melibatkan banyak
orang.
Pada
tahun 2007, saat ia merayakan 40 tahun imamat, ia mulai memikirkan masa
tersebut, karena Kitab Suci (Mzm 90:10), tutur Uskup Mikael, mengatakan,
“Umur manusia 70 tahun, kalau kuat 80 tahun.”
“Nah,
sebagai manusia, suatu waktu mau atau tidak mau saya pasti lengser,” kata Uskup
yang pernah menjadi anggota DPRD di Papua itu.
Saat
ini, kata Mgr. Mikael, ia ingin lebih tenang dan lebih dekat dengan Tuhan.
Karena itu, ia memilih tempat pensiun di tempat yang terpencil: tidak ada
penerangan, tidak ada jalan, di pinggiran Kota Labuan Bajo, yang kini menjadi
salah satu destinasi wisata dunia.
Di
tempatnya, ada sebidang tanah. Bersama para fransiskan yang tinggal dengannya,
ia mengolah tanah tersebut untuk memenuhi kebutuhan dapur, seperti
sayur-sayuran dan buah-buahan.
Selain
itu, ia menambahkan, di komunitasnya,di Labuan Bajo, mempunyai kapel yang ia
gunakan sebagai tempat bimbingan rohani, retret, dll, bagi umat yang datang
mencari oase rohani di tengah kegersangan spiritual di zaman modern ini.
Tiap sore, cerita Mgr. Mikael, ia selalu memandang matahari terbenam (sunset) di sekitar tempat tinggalnya. Sunset itu, kata dia, sangat indah dan mengagumkan. Ia pun berikhtiar, hidupnya yang sudah senja, juga memberikan kedamaian dan kegembiraan bagi orang lain.
Rian Safio
Leave Comments
Post a Comment