Kisah Pastor Asal Indonesia di Afrika: Bangun Infrastruktur dan Kerohanian Umat
![]() |
Pastor A.T. Ricahrnot CICM. Foto: dok. pribadi |
Terasvita.com – Namanya Pastor Arnoldus Thomson Richarnot
CICM. Dua tahun lalu, 2018, pimpinan tarekatnya mengutus Putra Manggarai itu ke
Provinsi Kasaï Tengah di Republik Demokratik Kongo, Afrika.
Tidak mudah. Kondisi tempat ia diutus itu serba sulit. Umat
banyak yang hidup dalam kemiskinan. Juga, di tempat itu pernah terjadi
pemberontakan. Belum lagi kekurangan dan ketiadaan air, listrik, jaringan
internet, dan jalan yang rusak.
Banyak kolega seniornya di CICM menolak ketika ditawari untuk
bertugas ke tempat tersebut. Bahkan, mencibir alumnus Seminari Pius XII, Kisol,
Manggarai Timur, itu ketika ia menyanggupi permintaan Uskup setempat dan
Provinsialnya untuk merintis paroki baru di tempat tersebut.
Waktu itu, kata Pastor Richar beberapa waktu lalu, banyak yang bilang, “Ah paling dua
bulan atau tiga bulan di sana, dia akan minta pindah; mana tahan anak muda
seperti dia hidup dengan kondisi serba terbatas seperti itu."
“Saya membalas cibiran mereka dengan berkarya. Pelan-pelan
saya membangun paroki ini dari nol,” ujar alumnus STF Driyarkara, Jakarta itu.
Sejak masa formasi, ia sudah mau membaktikan hidupnya di
daerah sulit seperti banyak negara di Afrika. Ia mau bekerja di desa di tengah
orang-orang miskin.
“Dengan hadir di tengah mereka, merasakan penderitaan mereka,
menghormati dan menghargai budaya mereka atau berniat sedikit demi pembangunan
dan pencerahan menurut saya karya missionaris saya jadi lebih berarti,” kata
Pastor Richar.
Berkat kemurahan hati banyak orang, di paroki baru yang
dirintisnya itu, ia bisa "membangun belasan sekolah di 23 desa di wilayah
reksa pastoralnya. Anak-anak pun tidak lagi belajar di tenda-tenda sawit."
Pastor Richar menjelaskan, dalam tugas pelayanannya, ia
berupaya mewujudkan Gereja mandiri. Umat dilibatkan, “mereka (umat) membuat
bata, saya yang menyumbang semen dan atap.”
“Pekerjaan masih sangat banyak,” tambahnya.
Pada tahun lalu, ia bersama umat berhasil membangun pastoran.
Sebelum ada gedung pastoran, ia tidur di ruang sakristi.
“Jadi, sebelum Misa saya harus membereskan tempat tidur dan
pakaian agar tidak kelihatan berantakan di mata para misdinar yang masuk ke
sakristi untuk menyiapkan Misa,” tuturnya.
Sejak tahun lalu, ia juga memperbaiki puluhan kilometer jalan
yang rusak. Dan tahun ini, ia mendapat bantuan untuk membangun aula paroki.
Namun, pembangunan menjadi terbengkalai karena jembatan yang menjadi penghubung
dari desa ke kota ambruk.
Pastor Richar menceritakan bahwa jembatan yang ambruk sangat
vital bagi kehidupan umatnya. Hasil-hasil bumi dari desa diangkut dengan
menggunakan sepeda motor ke kota melewati jembatan itu. Sehingga, ketika
jembatan ambruk, aktivitas-aktivitas di desa menjadi lumpuh.
“Saya pun berniat untuk membangun jembatan kayu, karena
mereka tidak punya lagi uang untuk membeli sabun, garam atau gula, obat bagi
anak-anak yang sakit, dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya,” tuturnya.
Selain membangun sarana fisik, Pastor Richar juga berusaha
membangun iman umatnya. Di paroki itu, ada 23 desa dan semuanya belum punya
kapela permanen.
“Jadi, ketika kami berdoa, kami berdoa di tenda beratap daun
sawit. Ketika tiba-tiba hujan, semua kabur, hanya Pastor yang melanjutkan Misa
di rumah katekis,” paparnya.
Ia mengaku, bekerja sebagai misionaris perintis sangatlah
melelahkan. Hampir setiap hari hari mengunjungi desa-desa tersebut dengan
sepeda motor. Butuh waktu sebulan untuk menjangkau semua desa. Juga, semua
urusan referensinya ke pastor. Namun, semangatnya tidak surut.
“Tugas yang berat ini, membangun secara fisik dan membangun
secara rohani, saya jalani dengan sukacita dan semangat,” tutupnya, “negeri ini
sudah jadi Tanah Air kedua saya,”__di samping Tanah Air Indonesia.
Rian
Safio
Leave Comments
Post a Comment