Debu di Alas Kaki Pencipta: Tulisan Tuang Peter OFM Sembilan Tahun Silam
![]() |
Peter C. Aman OFM. Foto: ist. |
Terasvita.com
– Sekadar pengantar. Beberapa hari lalu:
Rabu, 16 Desember, seusai Misa arwah Tuang (Pastor) Peter OFM di Kapela
Komunitas Fransiskus, Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, kami: saya (Rian Safio),
Fendy OFM, Fidel Haman, dan Nando Nujun menikmati makan malam di sebuah tempat
makan di Cikini.
Sembari
menunggu makanan, Fendy menunjuk kepada kami foto sebuah guci kecil. Di
dalamnya ada abu jenazah Tuang Peter, yang dikremasi di Krematorium TPU Madurejo,
Prambanan, Yogyakarta, pada pagi hari itu.
Hanya
bisa terdiam di hadapan foto itu. Rongga suara seakan tercekak, tak mampu
berkata-kata. Patah. Di pelupuk mata beberapa teman itu, saya melihat air mata
menggenang basah. Saya menangkap rasa yang sama di antara kami: sedih dan “tak mengerti
apa yang sebenarnya terjadi hari-hari ini.”
Kecewa.
Kehilangan. Putus asa bahkan. Semuanya bercampur aduk dalam nubari. Bagaimana
Tidak? Di satu sisi: dalam hati, pikiran, dan album kenangan, teringat sosok
kurus, cerdas, humoris, sederhana, ringan tangan untuk membantu: yang miskin,
para janda, perempuan hamil di luar nikah, korban ketidakadilan, korban perang;
bersuara lantang menyuarakan hak-hak kaum terpinggirkan, dan merangkul yang
tersisihkan.
Namun,
di sisi lain: di hadapan saya ada sebuah guci kecil berisi abu orang hebat dan
baik itu; orang yang saya kagumi sejak pertama kali mengenalnya via sebuah
majalah; orang yang di pundak dan mulutnya, banyak yang menitipkan harapan
untuk menyuarakan dan membebaskan orang-orang yang hak-haknya sering dirampas
oleh penguasa dan pengusaha tamak; seorang guru yang luar biasa.
Malam
itu pun makanan yang lezat terasa hambar. Cerita-cerita yang biasanya mengocok perut terasa
biasa-biasa saja. Pun wajah perempuan yang tengah mendiami ruang imajinasi saya
hari-hari ini seolah-olah tampak tua, tak menarik lagi untuk difantasikan. Kosong.
Patah.
Lalu,
ketika ayam berkokok, tanda hari baru dimulai dalam perhitungan tradisional di
Manggarai, saya dan beberapa teman itu memutuskan kembali-pulang ke Emaus: kos di Pramuka Sari III, Jakarta Pusat.
Dalam
perjalanan pulang itu, terus bertanya-tanya: Bagaimana bisa orang hebat itu
kini menjadi abu dalam sebuah guci kecil? Saya tertatih-tatih menemukan jawaban
pertanyaan itu. Mungkin juga Anda, murid-muridnya yang lain.
Setiba di kos, saya menghempaskan tubuh di kasur. Sementara itu, pikiran masih bekerja
keras menemukan jawaban dari pertanyaan itu: Bagaimana bisa orang hebat itu
kini menjadi abu? Disimpan dalam sebuah guci kecil pula.
Tepat
pukul 08.00 WIB, pada Kamis, 17 Desember 2020, saya seperti terbawa pada sebuah
jarum sejarah yang memungkinkan saya menemukan setitik potongan jawaban atas
pertanyaan yang terus menggantung di kepala juga jauh di lubuk nubari saya. Yakni
sebuah tulisan Tuang Peter OFM, orang hebat itu, pada sembilan tahun silam:
2011.
Judulnya:
(Kita hanyalah) Debu di Alas Kaki Pencipta. Di kolom Editorial Gita Sang
Surya, majalah yang Tuang Peter rintis dan besarkan. Saya pernah menjadi
bagian utuh dalam perjalanan majalah itu, dari tahun 2014 sampai 2019 awal.
Lalu,
saya pun mengumpul niat untuk mengetik ulang tulisan itu. Berikut isi lengkapnya:
Debu
di Alas Kaki Pencipta
Beato
Yohanes Paulus II, di hari pertama tahun 1990, Hari Perdamaian Dunia,
meluncurkan pesan perdamaian berjudul “Berdamai dengan Allah Pencipta, Berdamai
dengan Semua Ciptaan”. Pesan ini menghubungkan langit dan bumi, surga dan
dunia, Allah dan ciptaan. Penghubungnya adala “damai” – berdamai. Yang paling
berkepentingan dalam perdamaian itu adalah manusia, karena hanya manusialah,
sebagaimana dikatakan St. Bonaventura, yang dapat menghubungkan yang rohani dan
jasmani, yang spiritual dan material, surga dan bumi, Allah dan ciptaan.
Manusia
adalah simpul, titik tengah dan titik temu, suatu sintesa sempurna. Ia
diciptakan dari debu tanah dan akan kembali ke tanah, tetapi dia juga adalah
gambar dan rupa Allah, imago Dei. Posisi ini menuntut manusia mesti berada
dalam kondisi baik, benar, adil, dan teratur. Baik, benar, adil, dan teratur
adalah prasayarat dasar bagi keadilan, karena tanpa keadilan segalanya akan
berantakan, simpul-simpul relasi akan putus. Harmoni akan sirna.
Benar
pula ketika dokumen itu menyebutkan bahwa rusaknya harmoni dalam relasi dengan
Allah dan ciptaan, disebabkan oleh manusia yang tidak berada dalam kondisi
ideal, baik, benar, adil, dan teratur. Kondisi negatif adalah persoalan moral.
Kerusakan ekologi yang berdampak pada keretakan teologis (relasi dengan Allah)
berakar pada cacat moral.
Cacat
moral “berbuah” pada pemanfaatan teknologi manusia yang tidak mengabdi kepada
kebaikan dan keutuhan kehidupan, tetapi terjerat dalam lingkaran negatif ketamakan,
yakni akumulasi harta, eksploitasi alam, ketidakadilan, pemiskinan, kekerasan,
bencana alam, dan ancaman nyata terhadap keberlanjutan hidup manusia dan
ciptaan. Kondisi moral (internal) manusia yang membusuk, menyebar dalam
kebusukan perilaku, sikap dan tindakan yang melawan prinsip-prinsip moral yang
menjadi batu sendi relasi dengan sesama manusia, sesama ciptaan, dan Allah.
Yang
dilupakan dalam karut-marut persoalan ekologis ini adalah kesadaran dan penemuan
diri manusia secara benar, yakni bahwa sejatinya manusia adalah makhluk
ekologis. Ia tercipta dari debu tanah, dihidupi oleh segala sesuatu yang tumbuh
dan hidup dari tanah, sebelum akhirnya ia kembali menjadi debu. “Ia adalah
debu di alas kaki Pencipta,”- kata syair lagu Puasa kristiani.
Karena
terintegrasi dalam keutuhan ciptaan, maka proyek keberlanjutan kehidupan
manusia bergantung mutlak pada keseluruhan sistem hidup dan sinergi alam
ciptaan yang padu apik, sistemik, dinamis, dan integratif. Alam ciptaan, di
mana manusia hanyalah salah satu komponennya, bertahan hidup karena kolerasi
dan sinergi harmonis antara berbagai komponennya.
Namun,
manusia toh lebih dari sekadar itu. Ia berada pada titik simpul dari semua
relasi ekosistem. Ia dapat memperteguh, menjamin, dan menjaga keutuhan ciptaan;
tetapi dia dapat juga menjadi penyebab ambruknya dan tidak berfungsinya “manajemen”
kosmik secara sinergis dan utuh. Itulah yang kini terjadi, alih-alih menyadari
diri sebagai bagian utuh ciptaan (makhluk ekologis), manusia mendaulatkan diri
sebagai penguasa alam ciptaan, merengsek Pencipta ke tepian, dan menegaskan
diri sebagai pengatur.
Kejahatan
itu disebut Yohanes Paulus II, sebagai dosa ekologis. Manusia yang lupa diri lantas
merusak diri dan ciptaan. Debu di alas kaki Pencipta yang ingin menjadi seperti
Pencipta. ***
Sekadar
Penutup: Membaca tulisan yang ditulis pada sembilan tahun lalu itu, menyibak
sedikit demi sedikit akan apa yang terjadi dengan Tuang Peter, orang “Manggarai”
yang hebat dan baik hati itu. Bahwasanya, kita hanyalah debu di alas kaki
Pencipta, kita berasal dari debu tanah, dan akan kembali ke debu tanah. Tuang
Peter telah menampakkan hakikat itu kepada kita dalam sebuah guci kecil berisi
abu jenazahnya, pada beberapa hari lalu itu.
Kendati
itu, seperti yang ia ungkap dalam tulisannya: “Sinisme Kematian”: Kata-kata
selalu terbatas dan tak cukup mengungkapkan isi kehidupan seseorang…selalu
tersisa kebenaran yang mengatakan bahwa manusia itu misteri. Misteri bukan
karena tidak bisa diungkapkan, melainkan karena semakin diungkapkan, semakin
banyak yang masih tidak/belum diketahui.
Kata-kata
dalam “Debu di Alas Kaki Pencipta” tentu saja masih terbatas untuk menemukan apa
yang terjadi dengan Tuang Peter sekaligus terbatas untuk mengungkapkan pribadi
Fransiskan yang baik hati itu. Semoga dalam tulisan berikut, entah di sini atau
di “sana”, saya dan Anda menemukan puzzle-puzzle tentang Tuang Peter: hidup,
kata-kata, karya, dan cita-citanya, dan kemudian merangkainya menjadi satu
bagian utuh. Sekali lagi: Kendati tetap berjumpa dengan titik misteri.
Rian Safio
Leave Comments
Post a Comment