Bahasa dan Kekuasaan
![]() |
Foto: dok. pribadi |
Terasvita.com
- Beberapa kasus DPRD versus pejabat teras di Manggarai Timur (Matim), NTT, yang
terpublikasi akhir-akhir ini memperlihatkan antropologi budaya kita dalam hal
hubungan antara bahasa dan kekuasaan. Kekuasaan arkais zaman old selalu
membutuhkan cara tersendiri untuk mempertahankan legitimasinya. Sehingga, bahasa
dipandang sekaligus digunakan sebagai alat dan simbol kekuasaan dan identitas
feodalistis.
Di sinilah budaya
digugat dan reformasi budaya menjadi penting saat ini. Budaya kita
secara natural melahirkan pemimpin feodal, karena alam bawah sadar memerintahkan
mereka tampil sebagai simbol yang satu tingkat di bawah "dewa". Saru
jadinya jika ingat bahwa kekuasaan dan jabatan yang mereka terima itu mandat
rakyat.
Era milenial zaman
now menjadi zaman pengharapan akan partisipasi aktif generasi milenial yang
kadang tampil sebagai benturan keras peradaban, karena mereka memahami bahasa
bukan sebagai kekuasaan tetapi sebagai relasi. Dalam konteks milenial, bahasa
tidak memerintahkan tetapi mengikat dan atau memutus tali relasi tanpa
embel-embel identitas.
Di sinilah kita
paham magis dari game of perception yang gemar dimainkan anak milenial
sebagai seni dalam merangkai bahasa dan relasi kekuasaan yang tampil dalam
kesan tarik-ulur seperti sedang bermain layangan. Bukan cari siapa kuat dan
lemah, siapa yang benar dan salah, siapa yang kalah dan menang, melainkan siapa
yang cepat baper (bawa-bawa perasaan-red) dialah yang lunglai seperti layangan yang talinya putus.
Maka, serangan
mautnya bukan dalam bahasa kekuasaan "kamu tidak tahu siapa saya?"
(bahasa arkais zaman old), tapi dalam korelasi hati dengan mengatakan:
"Saya tahu kamu siapa, tapi jangan baper dong!" (bahasa anak zaman
now). Dan itu artinya dalam sekali, mau bilang: Yang cepat baper itu dia
yang terbelenggu aroganasi identitas feodalistis dan masih hidup di zaman old.
Bicara tentang
relasi dan komunikasi, menyitir pemikiran eksistensialis Gabriel Marcel (1889-1973),
ada tiga pola relasi antarmanusia: relasi subjek-objek (komunikasi benci), relasi
predikat-predikat (relasi fungsional, komunikasi pasar), dan relasi
subjek-subjek (relasi intersubjektivitas, antarpribadi, komunikasi cinta).
Anak milenial
dominan bermain pada relasi predikat-predikat, relasi fungsional. Orang lain
dihargai sesuai peran dan fungsinya dalam hubungan yang saling jaga jarak.
Jarang mereka sampai saling benci. Lebih banyak hanya sampai menganggap yang
lain tidak penting. Blokir saja,begitu bahasa mereka. Juga umumnya mereka tidak
mudah jatuh cinta karena enggan menyentuh sisi terdalam pribadi yang lain.
Maka, jangan
dikira sapaan manja dan senyum manis mereka pertanda mereka "suka"
sama Anda sampai Anda baper sendiri. Tidak. Sapaan manja
dan senyum manis mereka persis seperti pramugari dan pramuniaga yang dalam
nalar hukum pasar telah memosisikan Anda sebagai konsumen dan konsumen adalah
raja.
Betapa tidak,
bahasa dan kekuasaan mengikuti roh zamannya. Jangan lekas baper hidup di zaman
now.
*Penulis adalah Putra Manggarai Timur, tinggal di Jakarta.
Leave Comments
Post a Comment