Berita
Covid-19
Headline
Internasional
Pekerja Seks
Pekerja Seks Terlunta-lunta Selama Pandemi Covid-19
Monday, June 1, 2020
0
![]() |
Sumber ilustrasi: Pixabay |
Terasvita - Ini
kisah di Amerika
Serikat. Negeri adidaya. Negeri dengan perekonomian maju. Negeri dengan
pertahanan terkuat dunia. Negeri yang punya pengaruh terhadap negara-negara di
seluruh dunia. Negeri bergelimang uang…Dan negeri yang ‘kalah’ juga di hadapan
Covid-19. Bahkan, negeri Paman Sam itu tercatat sebagai negara yang paling
banyak jumlah angka kematian karena covid-19. The New YorkTime, media ternama di
Amerika dan di kancah internasional, menampilkan nama-nama korban jiwa Covid-19 yang jumlahnya sudah hampir
seratus ribu sebagai headline pada edisi 25 Mei, beberapa hari
lalu.
Kisah ini tentang mereka yang secara sosial disebut dengan tuna
susila: para pekerja
seks. Kisah kegetiran mereka selama pandemi covid-19: hidup yang
terlunta-lunta di tengah isi dompet semakin
menipis bahkan kosong. Kisah ini ditulis oleh Alexis Okeowo, staff di The New Yorker. Pada 21 Mei 2020,
tulisan perihal nasib mereka yang kerap dicap ‘tidak bermoral’ itu diterbitkan
di The New Yorker. Atas nama ketertarikan, kami mengalihbahasakan kisah itu
ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian kami menerbitkannya ‘di ini
ruang’: Terasvita. Namun, kami
mengakui tulisan ini tidak dalam artian terjemahan yang ketat. Di sana-sini
kami menggunakan kata yang familiar dan ada yang tidak kami masukan dan ada
pula yang kami tambahkan dari sumber lain.
Kisahnya begini: Hari demi hari, tempat-tempat
hiburan malam di pusat Kota
Manhattan-USA mulai tumbuh.
Namun, tidak seramai dulu, sebelum pandemi Covid-19 merebak. Beberapa saja pelanggan yang mencicipi minuman keras premium dan steak di pesta-pesta mewah; beberapa juga
yang duduk di tepi panggung yang terang; dan hanya sedikit orang yang “nyawer” untuk penari yang tampil atau di duduk pangkuan mereka. “Rasanya aneh. Ada rasa putus asa,” ujar Nico, seorang penari di sebuah Bar.
Pada akhir Maret lalu, sebagian besar Bar di New York ditutup. Akibatnya, banyak
orang yang kehilangan pekerjaan termasuk mereka yang mencari nafkah di sektor industri seks. Mereka hidup terlunta-lunta. Yang lebih menyedihkan bagi mereka
(pekerja seks-red) adalah mereka didiskriminasi dan mendapat stigma negatif. Stigma-strigma politik dan sosial itu membatasi pengakuan hak-hak
dasar mereka sebagai pekerja. “Pekerjan ini tidak ada ikatan apa-apa. Pihak Bar tidak akan mengurus kami. Kami dibiarkan berjuang sendiri,” tambah Nico.
Pandemi global saat ini membuka mata banyak orang akan rapuhnya keberadaan pekerja berupah rendah dan
pekerja manggung di Amerika
Serikat. Pengalaman pekerja seks yang diklaim paling stabil dan independen
pun tidak berbeda. Adora, yang bekerja
sebagai penari telanjang, mengatakan bahwa sangat penting menetapkan
batas dengan pelanggannya. Seks tidak seperti komoditas lain: Bagi
sebagian orang, pekerjaan tersebut erat kaitannya dengan moralitas dan kesenangan serta kekuasaan. Sementara, bagi banyak orang, ini terkait dengan hal yang sama, tetapi juga bisa
bersifat transaksional dan bukan sentimental - suatu layanan.
Maya, seorang pekerja seks dan imigran ilegal dari Honduras, menceburkan diri secara penuh dalam dunia tersebut ketika Donald Trump membubarkan
program Deferred Action for Childhood Arrival (DACA). Maya adalah salah
satu penerima bantuan tersebut. "Saya ingin memastikan bahwa jika saya kehilangan hak untuk bekerja,
saya masih memperoleh penghasilan dan dapat bertahan,"
katanya. Pekerjaan
tersebut juga yang memungkinkan dia bisa membayar biaya pembaruan Daca. Pasalnya, orang yang tidak berdokumen atau imigran ilegal yang
ditemukan dalam dunia pelacuran, yang
diklasifikasikan sebagai pelanggaran ringan di negara bagian New York, dapat
ditangkap.
Dari sekitar 12 pekerja seks yang diajak
bicara, sebagian besar mengharapkan kedermawanan pelanggan masa
lalu dan bantuan dari komunitas mereka. Seorang janda muda, yang bekerja sebagai pendamping dan tampil pornografi di internet
di California, mengatakan bahwa sebagian besar wanita yang ia kenal di industri tersebut berusaha menghidupi keluarga mereka sendiri. "Mereka tumbuh dalam kemiskinan, dan mereka ingin memastikan
anak-anak mereka tidak memiliki gaya hidup yang sama," katanya.
Lily, seorang penari di sebuah klub tari
telanjang di Manhattan dan aktris, mengatakan, dirinya memutuskan
untuk masuk
dalam indsutri terebut setelah ia bosan karena hanya mendapatkan sedikit penghasilan di restoran. Dia menikmati tarian dan
finansial dari pekerjaan itu. "Orang-orang
berpikir bahwa pekerjaan ini tidak pantas untuk dihargai," katanya. Sementara itu, Tea Antimony, seorang pekerja seks di Brooklyn, mengatakan, stigma
tentang pekerjaan seks mencerminkan prasangka sosial. "Kami lagi-lagi
melihat bagaimana ras, kelas, dan status imigrasi bersinggungan dalam hal
pekerjaan yang didefinisikan sebagai sah," katanya. "Pekerjaan seks,
seperti kerja feminin lainnya, didefinisikan sebagai tidak sah.”
Untuk diketahui, para penari membayar biaya rumah sejumlah ratusan dolar untuk tampil di atas panggung di klub-klub yang menampilkan
mereka dalam keadaan telanjang. Idealnya mereka dapat menghasilkan cukup uang. Namun, klub-klub tersebut mendiskriminasi wanita yang mereka anggap tidak cukup langsing atau terhadap wanita Afro-Amerika yang memakai gaya rambut
kepang. Beberapa Bar gagal melindungi para penari
dari pelanggan yang melanggar batas yang ditentukan. Perlindungan bagi penari, yang sebagian besar adalah perempuan, tidak ada dalam
profesi tersebut di mana pemilik bisnis seringkali adalah laki-laki.
“Saya sudah berada di industri ini cukup lama
untuk melihat kapan kapalnya diguncang. Anda akan kehilangan pekerjaan begitu cepat,” ujar Leilah,
yang bekerja sebagai penari telanjang. "Semua orang di klub takut akan
kekuatan orang-orang yang bekerja di sana," ujarnya. Dia percaya bahwa sebuah klub yang memecatnya karena secara terbuka mengkritik industri itu. "Wanita menjadi takut karena mereka tidak ingin kehilangan
pekerjaan," kata Lily. "Dan kepada siapa kamu berpaling?" tanyanya.
OnlyFans, sebuah situs pornografi yang dimulai pada 2016, di mana para pekerja seks itu
bisa mendapatkan uang dengan menjual gambar atau video porno, tidak banyak
membantu mereka. Mereka justru dicekik oleh undang-undang yang melarang
situs-situs berkonten perdagangan seks. Di masa pandemi ini, situs-situs
tersebut tampaknya diberdayakan dan diuangkan secara diam-diam. Tetapi, bagi sebagian besar pekerja seks di OnlyFans, platform ini tidak
hanya menyunat dua puluh persen dari pendapatan mereka, tetapi juga membutuhkan
sejumlah besar tenaga kerja untuk menarik dan membuat pengikut tetap bahagia
dan untung.
"Saya harus melakukan banyak pekerjaan
untuk menetapkan batas apa yang akan dan tidak akan saya lakukan," kata
Adora, yang juga bekerja sebagai penari telanjang, tentang cara dia menangani
pelanggan. Ketika dia bekerja di klub tari telanjang, dia bisa pergi ke ruang
dansa dengan pelanggan dan memutuskan apakah dan bagaimana mereka bisa
menyentuhnya, tergantung pada seberapa banyak mereka memberi tip. Staf di klub
dapat membantunya dengan pelanggan yang agresif. Sekarang, jika klien daring menginginkan
video aksi seks, ia harus memutuskan syarat-syarat jenis transaksi baru dan
memastikan bahwa pembayaran sesuai dengan pekerjaan
itu.
Emma, seorang imigran Brasil yang bekerja di
sebuah klub tari telanjang di Brooklyn, mengatakan, dia
bersemangat untuk bergabung dengan pertunjukan strip kolektif virtual, di mana
pemirsa harus menyumbang untuk menonton dan didorong untuk memberi tip.
"Meskipun, telah bergeser secara online, tetapi
tetap melelahkan," ujarnya.
"Saya mengagumi gadis-gadis yang terus
bekerja online, karena sulit untuk menangani semua tekanan finansial dan
emosional yang kita alami ini, dan kemudian masih memberi banyak hal kepada
orang lain,"tambah Emma. "Saya suka pengalaman itu, tetapi pekerjaan
seks menguras banyak
tenaga karena Anda memegang ‘ruang’ untuk
orang lain," ujarnya.
Pekerjaan seks
online lebih aman dalam hal terhindar virus
corona. Namun, mereka yang melakukannya berisiko lebih tinggi untuk dirusak dan
dilecehkan, dan didiskriminasi oleh bank dan pemroses pembayaran.
"Terlepas dari berapa banyak uang yang Anda hasilkan, karena kami adalah kaum yang dikriminalisasi, semuanya dapat diambil dari kami dalam sekejap, dan
kami benar-benar tidak memiliki jalur hukum," ujar Molly Simmons, seorang pekerja seks.
Ketika karantina mulai berlaku di Amerika
Serikat dan di seluruh dunia, konsumsi global pornografi internet
meningkat. Situs web porno melaporkan adanya peningkatan lalu lintas pencarian
dan para pekerja seks melihat di fanpage yang sudah
populer adanya peningkatan pelanggan baru. Sebagai contoh: Pornhub, sebuah
situs dewasa terbesar di dunia yang berbasis di Amerika Serikat mengalami
peningkatan sebesar 18% jumlah pengunjung selama pandemi Covid-19 (lih. Tribunews.com).
Simmons, pemilik sebuah hiburan malam,
mengatakan bahwa banyak pekerja seks sudah
terbiasa dengan “hidup dalam krisis sepanjang waktu, di mana hidup mereka melulu krisis.” Beberapa mengatakan karena
mereka telah lama berhenti mengharapkan dukungan dari pemerintah atau majikan
mereka, mereka hanya memiliki diri mereka sendiri dan rekan sejawat. )***
Alih bahasa: Dewi J.
Editor: Rian Safio
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment