Headline
Perspektif
Dua Topi untuk Satu Pesan: Sisi Lain Perjumpaan Gubernur NTT dengan Uskup Ruteng
Tuesday, June 30, 2020
0
![]() |
Mgr. Siprianus Hormat (kiri) dan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (kanan) dalam pertemuan di Istana Keuskupan Ruteng, Selasa 23 Juni 2020. Foto: https://www.humasntt.web.id |
Oleh: RP Johny Dohut OFM
(Koordinator Ekopastoral Fransiskan-Pagal,
NTT)
Terasvita.com – Pada Selasa, 23 Juni 2020, seminggu yang lalu, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu
Laiskodat mengadakan kunjungan kerja di sejumlah tempat di wilayah Manggarai
Raya. Dalam Kunker tersebut, ia menjumpai masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat di sana. Salah satunya,
ia bertemu dengan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat.
Ketika
disambut di depan Istana Keuskupan Ruteng, mantan anggota DPR RI itu mengenakan
topi songke dan selendang dengan warna dasar hitam dipadu motif tenunan
dari benang berwarna-warni sehingga tampak indah. Salah satu motif yang cukup
menonjol di topi itu adalah biawak raksasa, Varanus Komodoensis, yang
dirangkai dari benang warna emas.
Orang
nomor satu di NTT itu berdiri dengan sangat tenang dan wajah menunduk. Sesekali
ia mengangkat muka ketika disapa lewat ritual penyambutan dalam budaya
Manggarai tuak curu dan manuk kapu. Keuskupan Ruteng dan Unika
St. Paulus Ruteng dengan senang hati menyambut kedatangan sang gubernur. Usai
penyambutan dengan ayam dan tuak, Gubernur Viktor dikenakan topi dan selendang
baru.
Selendang
dan topi lama dengan dasar tenunan warna hitam kini berganti warna cerah. Ia
diberi topi dengan paduan warna merah, pink, dan crem. Juga dikalungi dengan
selendang berwarna cerah. Yang tadinya didominasi warna hitam, gelap, kini berganti dominasi warna cerah.
Hal
yang paling menarik perhatian saya bukan warna cerah melainkan tulisan Omnia
in Caritate pada topi itu. Itulah moto atau spirit penggembalaan uskup yang tahbiskan pada 19 Maret lalu, yakni mengenakan kasih sebagai dasar
pelayanan: “Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!”
Dua
Topi untuk Satu Pesan
Dua
topi yang dipakai bergantian oleh gubernur ketika memasuki kompleks Istana Keuskupan
dan Unika St. Paulus-Ruteng mengandung pesan yang sangat kuat. Pada topi yang
ditanggalkan gubernur, ada tubuh komodo yang ditenun dari benang warna emas. Komodo
adalah karakter dan fisik yang perkasa, tubuh yang tangguh dan kuat. Kerja
untuk melayani rakyat hanya bisa dilakukan ketika orang memiliki tubuh yang kuat seperti itu.
Ketangguhan
fisik yang menopang kerja demi kebaikan bersama (bonum commune) adalah
hal mulia laksana emas. Ketika hal itu dimiliki seorang pemimpin, maka ia
sangat berkenan di hati rakyat bahkan Tuhan. Ketangguhan fisik orang-orang NTT dikagumi gubernur dalam sambutannya
sore itu.
“Di
Jakarta sana, ke rumah sakit, orang hb 7, harus diam di tempat. Karena kalau
orang hb 7, dia bersin keluar darah. Tidak ada lagi oksigen dalam darahnya. Di
NTT saya temukan, hb 2 jalan-jalan, …ini menunjukkan orang NTT luar biasa.
Bukan hanya pohonnya yang hebat, tapi juga orang-orangnya,” ungkapnya sambil
mempromosikan obat ramuan dari berbagai tanaman obat-obatan di NTT. Minyak
ramuan itu, kata politisi Patai Nasdem itu, sangat ampuh untuk menyembuhkan
batuk. Ia juga berseloroh, minyak itu adalah obat untuk Covid-19.
Namun,
ketangguhan fisik tanpa kecemerlangan atau kejernihan hati dan budi yang
menjiwai pelayanan akan mudah menyeret orang menjadi munafik; sikap
yang sangat dibenci oleh sang gubernur sebagaimana diungkapkan dalam
sambutannya. Ia membenci hipokrisi, sikap menampilkan diri seolah-olah baik dan
seolah-olah pintar.
“Orang
baik itu tidak usah kasih tunjuk. Kerja saja!” ungkapnya.
Kemunafikan, bagi Laiskodat,
menjadi salah satu hambatan dalam
membangun NTT. Ia sangat mengagumi ketulusan hati dan pelayanan kasih yang
dilakukan para suster sebagai agen yang cukup diperhitungkannya dalam
pembangunan masyarakat NTT. Mereka tidak banyak bicara tapi bekerja!
Demikian
juga tanpa pelayanan kasih dan totalitas pengabdian demi kebaikan bersama,
orang akan menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Atau
katakanlah homo homini komodo. Manusia menjadi komodo yang memangsa
sesamanya. Juga memangsa alam dan segala makhluk demi akumulasi kekayaan untuk
diri sendiri dan kroni-kroninya.
Menarik,
gubernur menunduk ketika topi bertuliskan Omnia in Caritate itu
dikenakan pada kepalanya. Topi lama tidak dibuang, tetapi diserahkan ke
asistennya untuk disimpan. Topi warna hitam dengan motif komodo yang sangat
menonjol ini juga tidak dipertahankan sang gubernur dengan mengatakan, “Maaf. saya
sudah bertopi. Saya tidak butuh topi yang kalian berikan!”
Yang
satu menggantikan yang lain, namun tetap saling melengkapi. Yang tangguh, gagah,
dan hebat secara fisik perlu disempurnakan oleh spiritualitas pelayanan kasih.
Menundukkan kepala, membiarkan diri untuk dikenakan topi baru adalah bahasa
simbol: Bahwasanya apa pun yang akan dilakukan dengan sekuat tenaga sebagai gubernur;
kebijakan pembangunan apa pun yang ditempuh; semua itu mesti dilakukan dalam
kasih. Omnia in Caritate!
Tanpa
cinta kasih, kebijakan pembangunan yang menekankan aspek ekonomi semata cenderung
menjadi buas, ganas, memangsa alam, rakyat, dan budaya mereka. Karena
itu, Uskup Ruteng, dalam presentasinya sore itu, mengusulkan paradigma
pembangunan yang lebih holistik dan integral.
“Kami
mengusulkan pembangunan ekonomi kawasan pantura yang integral berbasis ekologi,
kultur, geografi, demografi setempat,” ungkap Mgr. Sipri, sapaannya. Lengko Lolok
dan Luwuk, lokasi tambang dan pabrik semen yang ramai ditolak saat ini dan menagih Gubernur Viktor untuk mencabut izinnya, ada di wilayah Pantai Utara
wilayah Keuskupan Ruteng.
Sebagaimana
dikutip banyak media, Gubernur NTT masih mau berusaha untuk tidak menghasilkan
kebijakan pembangunan yang buas dan destruktif. Terhadap kebijakan tambang batu
gamping dan perusahan semen, ia mau mengkajinya lagi dan menghitungnya secara
cermat dari aspek ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan).
*Tulisan
ini sebelumnya diterbitkan di jpicofmindonesia.com. Setelah mendapat izin dari
penulis, kami menerbitkan kembali di kanal ini.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment