Headline
Perspektif
Pendidikan Setelah Wabah, Jangan Sampai Ada yang Terlupa!
Saturday, May 2, 2020
0
![]() |
Foto: Shutterstock/Ronaldy Irfak |
Oleh Dian B
Terasvita
- Setelah semuanya terjadi, yang tersisa adalah manusia-manusia rapuh,
manusia-manusia lemah, manusia-manusia yang hidup dalam ketakutan, tidur dalam
ketakutan, dan mati pun dalam ketakutan. Kemajuan informasi yang dibawa oleh
teknologi justru mengancam aspek terdalam dari diri manusia, yakni batinnya.
Sesuatu yang barangkali tidak diyakini ada oleh ortodoksi saintifik, tetapi
malah hari-hari ini berpengaruh besar dalam hidup manusia. Batin (Saraf, kata
Neurosains) kita terguncang, manusia menjadi makhluk yang tidak tenang,
kadang-kadang gegabah, “melihat yang lain sebagai ancaman” dan saya kira bahkan
semua ilmuwan dan praktisi ICT (Teknologi, Informasi dan Komunikasi) juga
mengenal rasa takut.
Setiap beberapa tahun, kita dicemaskan oleh
kemunculan wabah penyakit mematikan. Dengan sedikit mengabaikan data penyakit
yang muncul sebelum abad-21, dua puluh tahun belakangan beberapa virus
mematikan menghantam manusia. SARS (2002/2003), Flu Burung (2005), Henipah Virus (2009), Flu Babi (2009/2010), Ebola (2014), Virus Hendra (2014), dan masih banyak virus
mematikan lainnya (bdk juga. “Ecological
of Disease”, John, 14 Juli 2012, nytimes.com).
Baca
juga: Horor Kematian atau Biasa Sajakah?
Namun,
semuanya tidak heboh-heboh amat dibandingkan Covid-19, bukan karena kurang
ganasnya penyakit-penyakit itu. Tetapi, karena perkembangan TIK saat itu tak
secanggih dan masif seperti sekarang. Sementara sekarang, segala macam
informasi ada di tangan siapa pun, di android, misalnya. Informasi itu
diterima, dibuka, dibaca, diteruskan-oleh manusia yang makin mudah mengakses
segalanya-tetapi tanpa “kecerdasan batin” yang memadai.
Sedikit
contoh. Kemunculan H1N1 di pertengahan 2009 lalu, tidak membuat orang
mengambil tindakan seekstrem sekarang. Walaupun cara penularannya sama, droplet. Cara pencegahannya sama:
Menjaga sistem imun, cuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer, gunakan
masker saat keluar rumah, jaga jarak aman. Dan kendati pun virus itu telah
menginfeksi lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia dan menewaskan sekitar
575.000 korbannya (Kompas.com), kita masih bisa ke sekolah, masih bisa ibadah,
masih bisa mudik, dan lebaran bersama keluarga, masih dapat melakukan apa pun
secara bersama.
Kita
tidak dilarang ke pasar, tidak sembarangan membawa parang untuk menjaga
kompleks, tidak serampangan mengambil kebijakan hingga menyuruh warga: “Jangan ke
kebun”. Begitulah, Corona menjadi penyakit menghebohkan, dibandingkan jenis
influenza lainnya justru karena dibantu oleh pengaruh perkembangan Teknologi,
Informasi, dan Komunikasi. Sebaliknya, harus diakui bahwa adanya teknologi yang
canggih membuat Bangsa Global bisa saling “bertukar informasi” penting tentang
penyebaran virus itu, juga cara pencegahannya, guna mengurangi risiko kematian
(dibandingkan Flu Babi itu) yang diakibatkan oleh ketidaktahuan-kekurangan
informasi.
Namun,
sampai di sini, masalah belum selesai. Di tangan manusia labil dan lemah,
teknologi secanggih apa pun akan terlihat lebih sebagai “poti nggelak”
(setan jadi-jadian) daripada sebagai “penyelamat”. Sehingga, ketika semua orang menggebu-gebu
berbicara tentang pentingnya pendidikan CIT yang mengharuskan segalanya serba online
bahkan untuk masyarakat di lereng Pegunungan Meratus yang tak punya akses ke
teknologi, kita mesti segera awas. Ada
bahaya besar yang dibawa serta olehnya. Tentu bukan karena teknologi itu
sendiri, melainkan karena di dalam diri manusia, terdapat struktur-struktur tertentu yang membuatnya
tidak hanya menjadi serigala bagi
sesamanya dan karena itu dapat berlaku diskriminatif dan destruktif, tetapi
juga karena manusia “yang lagak” itu ternyata dapat juga menjadi “tikus basah” yang ciut nyalinya bahkan di hadapan nyamuk
sekali pun.
Maka,
di tengah dengungan jargon “Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0”, yang perlu
dididik pertama-tama dari manusia itu adalah kecerdasan batinnya: Emosional,
sosial, dan spiritual. Sesuatu yang kelihatannya kuno, tetapi selalu baru dan
bergema. Sebab, untuk waktu yang sangat lama, pengetahuan dan teknologi manusia
berkembang pesat, tetapi kelakuan dan ‘batin’ manusia tidak banyak berevolusi.
Yang mendesak saat ini adalah perlu dikembangkannya teknologi kelakuan
(meminjam istilah Skinner) yang mendidik batin (saraf). Sehingga, di hadapan
berbagai macam pengalaman dan ancaman apa pun, kita bisa berlaku cool,
tenang, dan tidak terganggu. Suatu sikap batin yang mampu mengambil jarak dari
berbagai pengalaman, sambil dengan “sikap bijak”, tidak gegabah bertindak dan
menilai apa pun yang terjadi.
Teknologi
kelakuan macam itu barangkali belum sampai di tempat kita, tetapi kebijaksanaan
hidup, kecakapan, dan kecerdasan batin dapat dimulai di mana saja Anda berada.
Caranya, kita berjalan melalui jalan meditasi, mempelajari filsafat sebagai
cara hidup, mengusahakan kerendahan hati fransiskan sebagai cara berada.
Sehingga, dengan tenang kita berlangkah
bahkan tanpa menerbangkan debu sedikit pun menuju masa depan yang bahagia.
Suatu keadaan batin yang diidam-idamkan bangsa manusia. Itulah tujuan segala
teknologi, itulah pendidikan
sesungguhnya!
*Penulis
adalah seorang fransiskan. Sedang berkarya di Kalimantan.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment