Headline
Perspektif
Merdeka Belajar: Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Monday, April 6, 2020
0
Foto: dokumen pribadi |
RD Stephanus Turibius
Rahmat
“Peserta didik
adalah makhluk bebas yang memiliki alamnya sendiri, sehingga mereka jangan
diperlakukan seperti robot maupun mainan yang bisa dipermainkan dengan
manipulatif” (Paulo Freire).
Terasvita.com - Pernyataan Freire ini
memosisikan peserta didik sebagai pribadi yang merdeka dalam proses pendidikan.
Karena itu, pendidikan harus memberi kebebasan kepada peserta didik untuk
bereksplorasi dalam belajar supaya kemampuan berpikirnya dapat berkembang
dengan baik. Atau, dalam konteks revolusi pendidikan di Indonesia saat ini,
peserta didik harus merdeka dalam belajar.
Menindaklanjuti arahan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (SDM), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem
Anwar Makarim menetapkan empat (4) program pembelajaran nasional yang disebut
sebagai pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar” (https://www.kemdikbud.go.id). Empat
program pokok ini akan menjadi paradigma baru pendidikan
Indonesia selanjutnya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Program "Merdeka
Belajar" dijabarkan dalam 4 kebijakan. Pertama, penilaian USBN
komprehensif. Penyelenggaraan USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional)
tahun 2020 akan dilakukan dengan ujian yang diselenggarakan oleh sekolah. Ujian
tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi peserta didik dan
dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian komprehensif,
seperti portofolio dan penugasan. Portofolio dapat dilakukan melalui tugas
kelompok, karya tulis, dsbg. Dengan itu, guru dan sekolah lebih
merdeka dalam menilai hasil belajar peserta didik. Anggaran
USBN akan dialihkan untuk mengembangkan kapasitas dan kompetensi
guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kedua, UN 2020 merupakan
pelaksanaan UN terakhir. Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan
bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan
matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Pelaksanaan ujian tersebut
akan dilakukan peserta didik yang berada di tengah jenjang sekolah
(misalnya, kelas 4, 8, 11). Dengan demikian, guru dan sekolah lebih fokus pada
upaya untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Hasil ujian ini tidak digunakan
untuk basis seleksi peserta didik ke jenjang selanjutnya. Arah
kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional,
seperti PISA dan TIMSS.
Ketiga, penyederhanaan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kebijakan
ini dilakukan dengan cara memangkas beberapa komponen
RPP. Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih,
membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP
terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Penulisan
RPP dilakukan dengan efisien dan efektif, sehingga guru memiliki waktu yang
lebih banyak untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran.
Keempat, zonasi lebih
fleksibel. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tetap menggunakan sistem zonasi
dengan kebijakan yang lebih fleksibel. Tujuannya untuk mengakomodasi
ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi
dapat menerima peserta didik minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15
persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Untuk jalur prestasi atau sisa
0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. Itu berarti bahwa daerah
berwenang untuk menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah
zonasi.
Kebijakan “Merdeka
Belajar”, yang dinilai sangat revolusioner, tentu mempunyai dasar
argumentasi yang rasional. Artinya, bahwa kebijakan merdeka belajar bukan tanpa
alasan. Penelitian Programme for International Student Assesment (PISA)
tahun 2019 menunjukkan bahwa hasil penilaian pada peserta
didik Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah, untuk
bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79
Negara (https://www.kompasiana.com). Dengan
kebijakan ini, maka pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) merumuskan kata merdeka dengan arti bebas (dari perhambaan,
penjajahan dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terikat, leluasa, tidak
bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Selain itu, kata merdeka bermakna
kemandirian (autonomy) (https://www.kompasiana.com). Kemandirian
(otonomi) sangat erat kaitannya
dengan kendali diri. Hal ini merupakan faktor penting dalam semua aspek
kehidupan manusia. Jika seseorang memiliki kemandirian, maka dia akan memiliki
kendali diri. Hal ini akan membuat individu semakin percaya diri atas keputusan
dan tindakanya.
Berdasarkan pengertian
ini, maka merdeka belajar bermakna bahwa peserta didik memiliki kemandirian
atau kemerdekaan berpikir dalam belajar. Peserta didik memiliki ruang dan
kesempatan belajar sebebas-bebasnya dan senyaman-nyamannya, belajar dengan
tenang, santai dan gembira tanpa stres dan tekanan. Belajar merdeka mencirikan
pembelajaran yang kritis, berkualitas, ekspres (cepat), transformatif, efektif,
aplikatif, variatif, progresif, aktual dan faktual. Peserta didik yang belajar
berbasis kemerdekaan akan senantiasa energik, optimis, prospektif, kreatif dan
selalu berani untuk mencoba yang baru.
Kebijakan merdeka
belajar sebagai arah baru pendidikan di Indonesia merekomendasi beberapa hal
berikut, yaitu (1) kurikulum dan metode pembelajaran yang berbasis analisis
dapat melibatkan potensi peserta didik pada aspek kognisi, afeksi
dan konasi; (2) guru mengembangkan model pembelajaran yang bisa menginspirasi
dan menggerakkan peserta didik untuk bertanya dan mencari jawaban berbasis
kebutuhannya, bukan behavioristik; (3) pemerintah daerah dan pusat dapat
bergerak bersama dalam upaya menciptakan akses pendidikan yang merata dan
berkualitas__pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diikuti juga dengan
inisiatif pemerintah daerah untuk melakukan redistribusi guru ke sekolah yang
kekurangan guru; (4) guru berperan sebagai penggerak yang memberikan
rangsangan kepada peserta didik untuk berpikir secara mandiri; (5) guru
berperan untuk memfasilitasi apa yang menjadi minat, kondisi dan kebutuhan
peserta didik; (6) konsep merdeka belajar (kemandirian) jika ditempatkan dalam
proses pembelajaran, maka sebenarnya berkaitan erat dengan
pendekatan student-centered learning (SCL). Kebijakan
pendidikan yang baru ini sejatinya menginginkan agar SCL dilaksanakan secera
efisien dan efektif. Sebab, sejatinya, SCL memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk memegang kendali dalam proses pembelajaran. Guru lebih berperan
sebagai motivator, dan fasilitator pembelajaran.
Selain keenam hal ini,
Lee & Hannafin (2016) dalam artikelnya yang berjudul, "A design
framework for enhancing engagement in student-centered learning: own it, learn
it" merumuskan tiga (3) langkah strategis agar dapat
terjadi merdeka belajar di dalam kelas. Adapun ketiga langkah
strategis tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Own it. Pada langkah ini, guru
harus memfasilitasi peserta didik untuk membangun rasa memiliki
terhadap pembelajaran yang terjadi di kelas. Dalam hal ini, guru mendukung
tercapainya tujuan eksternal (endorse external goal) dan secara rasional
menghubungkan tujuan tersebut dengan konteks; mengajak dan memberi peluang kepada
peserta didik untuk menetapkan tujuan belajar secara spesifik (provide
opportunities to set sepcific personal goals); memungkinkan siswa
memperoleh beberapa alternatif pilihan dalam menentukan tujuan belajar (provide
choices).
Kedua, Learn it. Guru berperan
untuk memfasilitasi terjadinya belajar secara bertahap (scaffolding)
sesuai dengan goals yang telah ditentukan setiap peserta
didik. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan arahan awal, memberikan
dukungan untuk memilih dan menentukan bagaimana peserta didik belajar (alat,
bahan ajar, dan sumber belajar yang relevan), mendukung secara penuh berbagai
kebutuhan peserta didik, memonitor progress peserta didik, meluruskan konsep,
dll.
Ketiga, Share it. Guru hadir untuk
meningkatkan keterikatan atau ketertarikan (engagement) peserta
didik terhadap apa yang sedang dipelajari dengan cara mempublikasikan,
mendemonstrasikan dan menyajikan hasil belajar otentik peserta kepada khalayak
(sesama teman atau bahkan orang lain). Cara yang dilakukan adalah
mendorong terjadinya dialog dan umpan balik dari khalayak tersebut dan
mendorong terjadinya review teman sebaya.
Jika hal-hal ini
benar-benar diwujudkan dalam proses pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang
memberikan "kemerdekaan belajar" dapat menghasilkan generasi emas
Indonesia yang memiliki kedaulatan dan tanggung jawab diri dalam menentukan
tujuan (goal setting), mengambil
keputusan (decisions, dan mengambil tindakan (actions) menuju
bangsa Indonesia yang mandiri. Generasi emas yang dimaksud adalah
generasi yang bukan hanya sekedar menguasai "pengetahuan tentang",
tetapi, generasi yang memiliki "kemampuan untuk". Generasi Indonesia
tahun 2045 yang memiliki kompetensi, bukan kemampuan menghafal. Generasi
yang memiliki kemampuan nalar dan literasi yang tinggi.
Kemerdekaan belajar yang
diberikan kepada peserta didik akan dapat membangun atau mengembangkan
kedaulatan dan tanggung jawab diri pribadi peserta didik. Sudah saatnya,
bangsa Indonesia perlu menyediakan guru-guru yang kompeten, andal, dan profesional
yang dapat memberikan kemerdekaan belajar. Mulailah dari melakukan
perubahan kecil yang dilakukan oleh guru sebagai penggerak perubahan (agen
of change). Guru sebagai penggerak perubahan harus menjadi contoh bagi
peserta didik (modeling). Hanya dengan demikian, kebijakan merdeka
belajar yang menjadi paradigma baru pendidikan saat ini mampu menghasilkan
sumber daya manusia Indonesia yang berkarakter dan berkualitas andal dan
profesional.***
*Penulis adalah dosen di
Unika Santu Paulus, Ruteng-NTT
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment