Hari Bumi Perspektif
Headline
Kehancuran “Ibu Bumi” Bermula dari Isi Kepala Kita
Tuesday, April 21, 2020
0
![]() |
Gambar: https://mujerycampo.com |
Oleh
Rian Safio
Terasvita.com –
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 22 April sebagai Hari Bumi
(Earth Day). Dilansir dari National Geographic, cikal bakal penetapan Hari Bumi
itu adalah pidato Geylord Nelson, Senator Amerika asal Wisconsin, pada tahun 1969 perihal
lingkungan. Lalu, pada 22 April 1970, 20-an juta warga di Amerika turun ke
jalan menuntut kelestarian lingkungan.
Dalam
rangka memaknai momen itu, gagasan yang terangkai dalam tulisan ini pun dibuat
dan “dibagi-bagikan”. Semoga! Tulisan ini tidak untuk gagah-gagahan, tetapi
sesungguhnya adalah sebuah panggilan nurani untuk menyuarakan kegelisahan
perihal bumi, rumah kita bersama. Karena, dari waktu ke waktu, bukanlah
sebuah buih verbal kalau mengatakan bumi kita di tepi jurang kebinasaan.
Laudato Si,
ensiklik Paus Fransiskus (2015), melukiskan secara amat baik perihal
kondisi bumi, rumah yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, saat ini: “Saudari ini sekarang sedang menjerit karena
segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan
penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang diletakkan
Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasa atasnya…”
(LS art.2)
Kembali
ke soal kegelisahan kami. Pada kesempatan ini, untuk menyalurkan dan menyuarakan kegelisahan itu, kami mengemasnya dalam sebuah ulasan
buku; tidak mendetail, tetapi menyajikan garis besarnya. Semoga dengan satu dan
lain hal, kegelisahan-kegelisahan kita masing-masing dipertemukan dalam upaya
merawat bumi, tempat semua ciptaan hidup dan saling menghidupi. Demikian pun
upaya sederhana ini, semoga berjumpa di satu titik simpul yang satu dan sama dengan upaya-upaya positif lain untuk menyembuhkan dan merawat ibu bumi ini.
Adapun
buku yang kami maksud adalah “Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah
Sistem Kehidupan bersama Fritjof Capra”,
sebuah hasil pergumulan intelektual dan kegelisahan esksistensial Dr. Sony
Keraf, Menteri Lingkungan Hidup Kabinet
Persatuan Nasional (1999-2001). Sejatinya, buku tersebut merupakan kelanjutan dari dua buku sebelumnya
dari alumnus STF Driyarkara itu, yakni "Etika
Lingkungan Hidup" dan "Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global".
Dengan demikian, memaknai dan memahami isi buku ini tidak bisa lepas dari kedua
buku itu, meskipun ketiganya tidaklah sama dan memiliki penekanan pada
masing-masing kajian.
Buku
setebal 224 halaman itu diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, pada
2014 silam. Terdiri atas 7 bab. Bagi kami, ulasannya sangat terstruktur dan
sistematis dari sudut pandang sebagai sebuah ulasan filosofis. Untuk membacanya
pun, Anda harus mengencangkan ikat pinggang dan menyediakan secangkir kopi agar
tidak terlalu mengernyitkan dahi untuk memahaminya; membacanya dengan rileks,
tetapi tentu saja tidak seperti membaca sajian berita online yang penyajiannya “terbantai” demi click-bike.
Perlahan-lahan
menuju ke kedalaman. Tesis utama yang melandasi pemikiran buku ini adalah
kerusakan lingkungan hidup global itu karena ada yang salah dengan isi kepala
kita. Dengan kata lain, degradasi lingkungan yang kita hadapi saat ini dengan
beragam bentuknya bermula dari isi kepala kita yang salah atau timpang. Asumsinya adalah
tindakan kita yang merusakkan alam itu
adalah manifestasi isi kepala kita atau pemahaman kita tentang alam semesta
atau lingkungan hidup (hlm. 9).
Lantas,
isi kepala seperti apa? Isi kepala yang dimaksud adalah cara berpikir atau paradigma
mekanistis-reduksionalitis. Adapun paradigma ini sangat dipengaruhi oleh
filsafat Rene Descartes dan fisika Issac Newton. Paradigma inilah yang mendiami ruang kepala “Barat” dan bahkan memberikan corak bagi peradaban Barat modern
(hlm. 61).
Dalam
paradigma mekanistis-reduksionalitis, alam dilihat sebagai sesuatu yang mati,
yang kering, dan dipahami dalam rumusan matematis yang dikuantifikasi dan
diukur. Alam hanya dipandang sebagai objek yang keberadaannya sebagai pemuas
kebutuhan Sang Ego. Alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang lain atau
sebagai mesin penghasil uang dan penyerap lapangan kerja. Tidak lebih. Alam
semesta direduksi sebagai barang
ekonomis semata. Tak peduli dengan dimensi keterkaitan, ketergantungan,
spiritual dari alam itu sendiri.
Baca
juga: Tuhan dan Aku di Sebuah Patahan Waktu
Cara
pandang ini mungkin tak mengalami kesulitan untuk menemukan perwujudannya dalam
kehidupan kita hari ini, khususnya berkaitan dengan lingkungan. Donald Trump,
misalnya, mencabut semua regulasi lingkungan di negeri Paman Sam warisan Pemerintahan
Obama (Kompas, 30 Maret 2017).
Sembari mencabut regulasi tersebut, presiden asal Partai Republikan itu menuduh
isu lingkungan sebagai propaganda Cina. Ia memuji para pengusaha tambang batubara di negerinya, karena menyediakan lapangan kerja secara luas melalui operasi
tambang terbuka.
Paradigma Tandingan atau Alternatif
Hemat
kami, yang mengagumkan dari buku tersebut adalah paradigma tandingan atau
paradigma alternatif yang ditawarkannya, yakni paradigma sistemis-organis (bab
III). Paradigma sistemis-organis sebagai sebuah pukulan telak terhadap
paradigma mekanistis-reduksionalitis. Dalam paradigma sistemis-organis, alam
semesta tidak dipikirkan sebagai sebuah mesin yang terdiri dari objek yang
beragam, melainkan sebagai sebuah kesuluruhan yang tak terpisahkan dan bersifat
dinamis dengan bagian-bagian yang terkait erat satu sama lain dan dapat
dipahami hanya sebagai bagian dari proses kosmis menyeluruh.
Paradigma
sistemis-organis memandang hidup dan kehidupan mempunyai struktur, yaitu sebuah sistem yang mampu
meregenerasi, memproduksi, dan mengatur dirinya melalui proses dinamis dengan
menyerap materi dan energi dari lingkungan dan mampu menghasilkan energi dan
materi bagi kehidupan lainnya.
Konsekuensi dari paradigma ini adalah kita
hidup dalam prinsip, yang oleh Capra disebut dengan “melek ekologi” atau
ecoliteracy, yang berisikan prinsip-prinsip ekologis sebagai landasan membangun
masyarakat yang berkelanjutan, yang tidak punah karena dominasi suatu makhluk. Dengan
ecoliteracy ini, Capra mendambakan agar masyarakat modern kita-termasuk Anda yang sedang membaca tulisan
ini- baik sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan bahkan kehidupan
sosial kita sehari-hari, harus ditata
ulang dengan berlandaskan prinsip-prinsip ekologis yang kita ambil dari alam
sebagai sebuah sistem atau jejaring kehidupan (Bab IV).
Selain
itu, model hidup yang bersumber dari paradigma sisitemis-organis, yaitu gerakan
bioregionalisme. Bioregionalisme ini sebenarnya mengajak kita untuk mendiami
kembali tempat kita dilahirkan dan kita hidup sesuai keniscayaan atau
kesenangan yang disajikan oleh tempat khusus yang khas yang telah menyatu
dengan hidup setiap orang sejak lahir. Kita hidup sesuai dan dengan menjaga
daya dukung dan daya tampung alam sekitar sebagai sebuah keniscayaan hukum alam, yang karena itu selalu membangun pola
hidup ekonomis dan ekologis yang harmonis, serasi, dan seimbang.
Catatan Akhir
Demikianlah
sajian yang dipaparkan Dr. Sony Keraf dalam buku tersebut. Sebuah upaya yang
tentu saja layak diapresiasi dan semoga akhirnya mengetuk pintu hati kita dan
banyak orang, terutama para pengambil kebijakan di level lokal, nasional, dan
internasional, untuk memikir ulang cara berpikir kita terhadap alam semesta
atau lingkungan hidup. Menata ulang “isi kepala” kita yang mungkin sudah terlanjur salah dengan memandang alam semesta sebagai sesuatu yang mati, mekanis, dan
mereduksinya sebagai mesin raksasa yang menghasilkan aneka kebutuhan perut
semata.
Di
tengah pandemi Covid-19 saat ini, kita dihadapkan hanya satu pilihan, yakni
menata ulang isi kepala kita atau cara berpikir kita terhadap alam semesta atau
terhadap bumi. Bahwasanya, kita tidak bisa terus-terusan begini: mengeruk alam
semata-mata demi kebutuhan perut segelintir orang dan ujung-ujungnya bumi
kehilangan keseimbangan yang justru akhirnya balik menyerang manusia tanpa
pandang bulu, baik terhadap yang berperan besar merusak bumi maupun terhadap
orang-orang yang tanpa sejengkal pun terlibat merusaknya.
Baca
juga: Kita Tetaplah “Tuan” atas Pandemi Covid-19
Ignatius
Kardinal Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta, dalam misa pontifikal yang
disiarkan melalui TVRI pada Minggu 12 April 2020, mengungkapkan, virus yang
mewabah hari-hari ini bisa jadi karena dosa ekologis yang kita semua lakukan.
Menurut Ketua KWI itu, di antara banyak pendapat perihal sebab wabah yang
merenggut ratusan ribu nyawa di seluruh dunia itu, alasan dosa ekologis merupakan
alasan yang tidak begitu sulit untuk dipahami secara akal sehat. Itu berarti kepada kita diberi mandat untuk melakukan pertobatan ekologis dan itu mulai dari isi kepala kita.
Akhirnya,
apa pun latar belakang keyakinan dan budaya kita, pandemi covid-19 menjadi
alarm panjang yang menyadarkan kita akan ada yang salah dengan cara-cara kita memperlakukan
alam ini. Seperti asumsi dari buku ini bahwa sikap kita terhadap alam adalah
manifestasi pikiran kita, karena itu sudah waktunya kita memperbaiki “isi
kepala” kita yang memandang alam atau bumi sebagai “mesin raksasa” untuk menghasilkan
kebutuhan perut semata. Ingat! Bukan bumi dan aneka isi di dalamnya yang bergantung
pada kita, melainkan kitalah yang bergantung pada mereka. Selamat Hari Bumi
2020!!!
*Penulis
adalah peminat isu lingkungan hidup.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment