Headline
Perspektif
Bukan DIA! Sesungguhnya Kita yang Pergi
Thursday, April 9, 2020
0
![]() |
Foto: dokumen pribadi |
Oleh: Efendy Marut OFM
Terasvita.com- Yesus terpaku-diam di salib.
Ia kini sendiri. Para murid-Nya lari. Orang-orang yang dahulu pernah
disembuhkan-Nya perlahan menyingkir-pergi, lalu membiarkan DIA merintih. Para
pengagum khotbah-Nya tak lagi menaruh takzim, malah memandang DIA layaknya
seorang asing dan buangan. Kerumunan yang pernah menyoraki-Nya dengan diiringi
daun palma menuju gerbang Yerusalem, juga meninggalkan sepi-membiarkan sunyi
hadir bagi-Nya. Mereka menghilang tanpa meninggalkan pesan, selain rasa takut
dan kebingungan akut. Yesus berserah kepada Bapa-Nya sembari menahan
perih-menanggung dosa segenap manusia yang kadang tak sadar-diri. Dunia sunyi
dan Yesus, dalam kesenyapan Golgota, menyerahkan nyawa-Nya. “Ke dalam
tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku”.
Kita
adalah orang yang meninggalkan Yesus. Yang sesungguhnya pergi adalah kita,
bukan DIA. Barangkali laku jahat kita kian hari tertimbun di kedalaman dada,
lalu dicurahkan dalam aneka bentuk; riuh hujatan di media sosial, sorak hinaan
di segala lini kehidupan, umbaran kedengkian, warta-gosip yang sulit
terbendung, dan sebagainya. Kita juga, barangkali kerap mengingkari kasih Tuhan
yang sebenarnya terasa wajib untuk dibagikan ke yang lain. Seperti seorang Lewi
yang melintas di jalanan dan melihat seorang yang sekarat, lalu tak dikasih
hati, malah berpaling, kemudian pergi tanpa berbuat apa-apa. Kasih Tuhan
atasnya tampaknya sia-sia. Tak berbuah dan bahkan dibiarkan membeku.
Lebih
sering juga kita mencintai laku tercela seperti menghakimi. Di hadapan pendosa
lainnya, kita memilih menjadi orang-orang Farisi yang hendak melempar batu
kepada perempuan yang kedapatan berzinah. Sikap ampun tampaknya tak berdaya di
hadapan kecenderungan menghakimi dan mengumbar kesalahan sesama-mewartakan dosa
orang, tanpa sedikit memberi ruang pengampunan. Apa salahnya kita lebih baik memilih
menjadi Simon dari Kirene. Meski letih karena pekerjaannya yang menguras banyak
tenaga, ia tetap rela dan penuh ikhlas membantu Yesus. Peluh keringat Simon
adalah gambaran tentang cinta, perjuangan, komitmen dan pengorbanan. Kala
itu, Simon sadar bebannya tak seberapa dibandingkan yang dialami Yesus. Atau
bila tak mampu, mengapa kita tak mau memilih menjadi Veronika yang cekatan
menghalau kerumunan, bergerak maju dan menyeka wajah Yesus yang penuh peluh?
Veronika menawarkan kasih, yang barangkali tak semua dari kita mampu dan
bersedia melakukannya. Kepada siapa pun yang berani bertindak kasih, Yesus toh
akan meninggalkan kenangan gambaran wajah-Nya, seperti yang didapat Veronika
kala itu. Laku-kasih Veronika menampar wajah kebanyakan orang yang barangkali
tengah memendam dengki dan menyimpan amarah dalam dada mereka. Ya, kasih
mengalahkan semuanya. Bukankah kasih adalah hukum utama kita?
Baca
juga: Covid-19
dan Perayaan Paskah Tanpa Umat
Di atas
segalanya, kita tahu pasti bahwa Yesus pergi untuk kembali. Ia mati untuk
menyatakan kasih-menyelamatkan kita. Dari kita, IA tak banyak berharap, selain
bahwa kita mau berlaku kasih terhadap yang lain, sesama manusia dan alam
ciptaan. Bukankah kita wajib mengasihi yang lain lantaran Tuhan sudah terlebih
dahulu mencintai kita? Ya, itulah sesungguhnya. Dari pihak kita akan selalu
dituntut sikap setia pada komitmen. Pada seorang sosok suci seperti Bunda Maria
kita patut belajar perihal apa dan bagaimana berlaku cinta, lalu setia.
Meskipun, barangkali Maria menyimpan semua kepiluan karena derita Anaknya, ia
tetap tampil tegar dan setia mendampingi. Ia menyertai Anaknya itu dalam jalan
penderitaan. Hati Maria adalah hati seorang ibu yang kendatipun perih bak
disayat sembilu, namun tetap mencintai dan setia mendampingi. Kita akan
teringat betapa seorang ibu menjerit kesakitan tatkala melahirkan kita,
terkuras tenaganya di saat menopang, memangku, dan mengajari banyak hal saat
kita kecil. Itulah definisi cinta dan pengorbanan.
Lalu,
adakah kita juga membiarkan Yesus menderita lantaran laku-jahat kita,
keegoisan, kemunafikan, sikap masa bodoh, keangkuhan, kemalasan kita? Yesus
pergi namun meninggalkan bahagia keselamatan. Ia pergi, lalu menitipkan
kasih-Nya, menanamkan cinta-Nya di dunia untuk kita. Ke manakah cinta-Nya layak
ditaburkan, selain disemai di dalam diri kita, lalu ditebarkan untuk yang lain,
sesama, dan alam ciptaan? Selamat merenung...
Penulis
adalah anggota persaudaraan fransiskan Provinsi St. Mikael Malaikat Agung,
Indonesia. Saat ini, ia diutus menyelesaikan studi pascasarjana di STF
Driyarkara, Jakarta.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment