Headline
Perspektif
Antara Cuci Tangan Kita dan Cuci Tangan Pilatus
Wednesday, April 8, 2020
0
![]() |
Foto: dokumen pribadi |
Sdr.
Mikael Gabra Santrio OFM
Terasvita - Banyak upaya yang dilakukan
untuk mengatasi wabah yang beberapa pekan terakhir ini kita sudah
dibuat gagap, takut, khawatir, dan panik olehnya, yakni pandemi covid-19. Salah
satu dari upaya-upaya itu adalah mencuci tangan secara rutin.
Kesungguhan kita mencuci tangan
secara rutin (juga anjuran-anjuran lain dari WHO dan pemerintaha) adalah
bukti bahwa kita mencintai kehidupan kita masing-masing. Juga, lebih
dari hal itu, yakni kita melaksanakan mandat Allah untuk merawat kehidupan yang
telah Ia berikan secara cuma-cuma kepada masing-masing kita.
Dalam tulisan sederhana ini, kami
berikhtiar untuk melihat dan membagikan refleksi seputar "cuci
tangan": Antara cuci tangan yang kita lakukan secara rutin hari-hari ini
dan cuci tangan yang dilakukan Pilatus, Gubernur Romawi, pada 2000-an tahun
lalu.
Menurut hemat kami, “cuci tangan”,
yang akrab di telinga dan rutin kita lakukan hari-hari ini, bermakna ganda. Di
satu sisi tindakan mencuci tangan memiliki makna spiritual (makna positif)
dalam kehidupan kita; dan, di sisi lain, mencuci tangan merupakan sebuah sikap
atau tindakan simbolis untuk mengungkapkan sikap tidak bertanggung jawab, tidak
peduli, sikap tidak mau tahu dengan yang lain (makna negatif).
Yang pertama, soal makna spiritual (positif)
mencuci tangan. Apa kira-kira makna spiritual di balik tindakan mencuci tangan?
Secara sederhana, kita mencuci tangan supaya tangan kita bersih dari kotoran
dan segala kuman serta bakteri yang dapat menimbulkan penyakit dalam tubuh
kita.
Dalam kerangka iman kristiani, kita
mencuci tangan untuk menjaga tubuh kita yang adalah Bait Roh Kudus.
Oleh karena itu, sebagaimana kita yakini bahwa Allah mendiami diri kita-
semestinyalah kita menjaga, menghargai, dan memperlakukan tubuh kita dengan
baik.
Ketika kita menerima Tubuh Kristus,
praktisnya, kebanyakan dari kita menerimanya (Tubuh Kristus dalam perayaan
Ekaristi) dengan kedua tangan kita. Tangan kita menjadi media yang baik untuk
menerima sesuatu yang sifatnya kudus dan suci.
Dalam tradisi orang Yahudi yang
melakukan ritual pencucian tangan dan kaki yang bermula dari
ketentuan Taurat yang dicatat sejak ± 3500 tahun yang lalu dalam
tulisan-tulisan Musa (Kitab Taurat).
Dalam Perjanjian Lama juga
dinyatakan bahwa umat Israel perlu melakukan ritual mencuci tangan sebelum
berdoa, “…haruslah mereka membasuh tangan dan kaki mereka,
supaya mereka jangan mati…” (bdk. Kel 30:21). Dengan demikian, jelaslah bahwa
tindakan mencuci tangan bukan sekadar kebiasaan sehari-hari, melainkan juga memiliki
makna spiritual.
Baca
juga: Manusia: Makhluk yang Berpengharapan
Selain itu, dalam kehidupan sosial,
ketika kita memberi atau menerima barang atau hadiah dari seseorang, pastilah
kita menerima atau memberinya dengan tangan kita. Ketika tangan kita dalam
keadaan kotor, kita merasa canggung, segan, ragu-ragu untuk menerima dan
memberi sesuatu dari dan kepada yang lain.
Yang kedua, makna negatif dari mencuci
tangan, yaitu sebuah sikap yang menganggap diri tidak bersalah, lari dari
tanggung jawab, tidak peduli dengan sesama. Kita menemukan contoh unggulnya
dalam diri Pontius Pilatus. Pilatus melakukan ritual mencuci
tangan dalam upayanya untuk lepas dari kesalahan dan kenajisan yang berhubungan
dengan pembunuhan yang akan terjadi pada Yesus Kristus dalam suatu sidang
pengadilan yang dipimpinnya. Ia tak mau mengambil risiko bertanggung jawab atas
kematian Yesus sekaligus juga takut kehilangan kepercayaan dari imam-imam
Yahudi.
Pertanyaan untuk kita: Di tengah
situasi wabah Covid-19, apakah kita harus “mencuci tangan” dari
kehidupan kita? Tentu, kita tidak seperti Pilatus yang cepat-cepat mencuci
tangan terhadap situasi yang dihadapinya. Sebab, kita bukanlah Gereja Pilatus.
Kita adalah Gereja Yesus Kristus yang senantiasa setia, tidak lari dari
tanggung jawab dalam kehidupan kita, sesulit apa pun itu.
Baca
juga: KitaTetaplah “Tuan” atas Pandemi Covid-19
Yesus Kristus telah menunjukkan
kesetiaan-Nya dalam menghadapi penderitaan sampai wafat di kayu salib. Karena
itu, kita harus mencuci tangan sebagai upaya menjaga kesehatan tubuh jasmani
kita, namun tidak boleh “mencuci tangan” dari realita kehidupan kita
masing-masing yang berlapis-lapis peliknya.
Dari Cuci Tangan ke Cuci Hati
Sebentar lagi kita merayakan Paskah;
kita mengenangkan sengsara, wafat, dan kebangkian Yesus Kristus. Paskah ini
adalah kesempatan yang baik bagi kita untuk memurnikan diri kita luar dan
dalam: Dari cuci tangan ke cuci hati.
Apakah mungkin mencuci hati?
Jawabannya iya. Tentu, di sini cuci hati bukan dalam
pengertian harfiah. Mencuci hati bagi kita orang Katolik, yaitu berupaya untuk
membersihkan diri kita tidak hanya jasmaniah (tubuh, fisik), tetapi juga
rohaniah (hati).
Mencuci hati di tengah wabah virus
corona berarti memberikan pengharapan bagi yang lain, berhenti menebarkan
berita bohong, peduli terhadap sesama, solider dengan yang lain, mengikuti arahan
dari pemerintah, tetap jaga jarak, dan jangan lupa mencuci tangan.
Inilah cara kita untuk membersihkan
diri kita dari serangan berbagai jenis penyakit yang menghantui kita. Jangan
lupa cuci tangan dan hati. Namun, jangan cuci tangan dari peliknya situasi
kehidupan saat ini. Wassalam.)***
*Penulis adalah anggota Ordo
Fransiskan Provinsi St. Mikael Malaikat Agung, Indonesia. Saat ini sedang
menyelesaikan studi pascasarjana di STF Driyarkara, Jakarta.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment