Headline
PUISI
SASTRA
Menyebut nama Tuhan
Aku dan Engkau
Monday, April 6, 2020
0
![]() |
Ilustrasi: https://www.alamy.com |
AKU
DAN ENGKAU
Aku adalah
seratus juta tahun penantianmu
di musim hujan,
juga musim wabah, musim pandemi yang kian menyeret manusia pada diri sendiri.
Dari
kepala-kepala plontos
muncul tanya yang
kaos: di mana Tuhan?
Dari
kepala-kepala berambut cepak
muncul jawab yang
mendepak
terkurung oleh
pikiranmu!
Bagai nyanyian
seribu dewa
memanggil
sembilan matahari
dari kesepian
ribuan galaksi
engkau hadir di
antara busung lapar
lambung jiwa
manusia-manusia buta
yang cemar.
Engkau siapa?
Aku adalah awal
dari segala yang terbit
jernih embun,
fajar pertama, dan aroma tanah basah yang dengan tenang dan lembut melintasi
jendela
memasuki dua
lubang hidup
memenuhi
paru-paru menyempurnakan degup.
Engkau adalah
akhir dari segala yang terbenam
masa-masa muda
yang gemilang
kapitalisme dalam
telikungan pandemi yang sporadis
tumbangnya cinta
pemuda desa pada gadis apartmen lantai tiga
dan rindu mamah
muda pada kekhusyuan pemuda kampung yang tak pernah mencium bau anggur.
Aku dan engkau
adalah igau tak berujung
racauan yang tak
lebih dari judul-judul berita
picisan pemuja rating
murahan yang setiap detik muncul menjadi polutan di dunia yang setiap orang
bebas memamerkan
kebodohannya.
SULUH KEMERDEKAAN
Kami menanam
harapan
pada merah ubi
yang lama dipanen
pada merah wortel
yang tiga bulan kami siram dengan keringat dan doa
pada merah tomat
yang senantiasa kami jaga dari patek dan ulat
pada merah api di
perapian di gubuk kecil
di bukit merah.
Pada putih awan
kami berharap hujan
menurunkan
keberkahan dan kesejukan
pada putih embun
pagi pada jernih air kali
pada putih karung
puri kami ikat suluh-suluh revolusi, untuk kemerdekaan kami sendiri
untuk kemerdekaan
kami sendiri.
Jika matahari
senja hendak terbenam di balik bukit
kami pulang
sambil menitipkan hutan pada matahari siang
pada yang menjaga
nyala matahari siang
pada yang menjaga
hutan
pada yang menjaga
penjaga hutan.
Kami pulang
mengucap syukur
menyertakan
senyuman
dengan keringat
bercucuran dan goresan-goresan di lengan
serta wajah legam.
Menyebut nama Tuhan
diam-diam.
* Karya Aris Usboko, mahasiswa jurnalistik Univ. Tama
Jagakarsa, Jakarta Selatan
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment