Headline
Perspektif
Yesus Kristus dalam Konteks Kemajemukan Agama di Asia
Saturday, March 28, 2020
0
![]() |
Foto: dokumen pribadi |
Sdr.
Vredigando Engelberto Namsa OFM
Terasvita.com - Dalam
Perjanjian Baru (PB) ada tiga sudut pandang untuk menjelaskan misteri Yesus
Kristus (Kristologi-red). Pertama, kebangkitan
Yesus dan pengalaman paskah para murid. Kedua, refleksi
post-paskah dari Gereja perdana yang berawal dari kerygma apostolik, yaitu
pemakluman Kristus yang bangkit serta pembacaan kembali dalam terang paskah
atas Yesus historis (hidup, karya, ajaran, dan gelar-gelar yang dikenakan
kepada-Nya). Ketiga, tahap
kemudian yang sering dinilai sebagai tahapan paling matang dari refleksi Gereja
perdana. Dalam tahap ini terdapat pengakuan dan identitas personal Yesus
Kristus sebagai Logos yang pra-ada.
Pada
prinsipnya dapat dikatakan bahwa dalam PB terdapat dua jenis Kristologi. Pertama, Kristologi dari
bawah, yaitu berbicara tentang pengangkatan Yesus dari Nazaret menjadi
Tuhan dan Kristus melalui kebangkitan-Nya. Kedua, Kristologi dari atas,
yaitu berbicara tentang Logos pra-ada yang menjelma menjadi manusia dan dikenal
dengan nama Yesus dari Nazaret.
Ada
gerakan yang berjalan secara progresif dari “Kristologi dari bawah ke
"Kristologi dari atas”. Kristologi dari atas ini dalam perjalanan waktu
semakin mengutamakan konstitusi ontologis Kristus sebagai Allah-manusia
daripada Yesus historis. Dan kristologi seperti ini telah dirumuskan sebagai
dogma dalam konsili-konsili awal (Nicea, Konstantinopel, dan Kalsedon),
mendapat prioritas dalam kekristenan dalam periode sejarah yang cukup lama.
Dewasa
ini, ada gerakan kembali ke Yesus historis. Akan tetapi, dari Kristologi yang
bervariasi dalam PB, timbul persoalan perihal hubungan antara Yesus historis
dan Kristus iman. Rudolf Butlmann, misalnya, melihat keterpisahan yang begitu
jauh antara Yesus historis dan Kristus iman. Bultmann berkeyakinan bahwa
kehidupan pribadi Yesus historis tidak mungkin dapat diketahui jika
sumber-sumber kekristenan tidak tertarik berbicara tentang Yesus historis
kecuali secara fragmentaris dan cenderung kepada mitos (1958: hlm. 11).
Akan
tetapi, Komisi Teologi Internasional memberi penjelasan bahwa Yesus historis
tidak dipisahkan dari Kristus iman. Setiap Kristologi yang secara otentik
Kristen, menurut Komisi Teologi Internasional, harus berpegang teguh pada
kesatuan esensial antara Yesus yang pernah hidup sebagai manusia konkret di
dunia dan Yesus yang telah bangkit (Antonio Olmi, La Cristologia della
commissione Teologia Internazionale, 2001: hlm. 30).
Pengakuan
Komisi Teologi Internasional di atas mengungkapkan kenyataan bahwa
ada perbedaan (tanpa harus memisahkan) antara Yesus historis dan Dia yang
ditransformasikan melalui kebangkitan. Dengan demikian, terbuka kemungkinan
untuk berbicara tentang Kristus kosmik. Dengan Kristus kosmik dimaksudkan Sang
Sabda yang melampaui Yesus historis dan hadir serta melaksanakan karya
penyelamatan-Nya dalam segenap ciptaan sepajang sejarah.
Akan
tetapi, Kristus kosmik tidak dipisahkan dari Yesus historis, sebab sejak Sabda
berinkarnasi, maka nama Kristus yang dihubungkan secara langsung dengan
kemanusiaan Yesus yang terurapi dapat dihubungkan dengan Sabda yang pra-ada.
Sabda yang pra-ada berinkarnasi dan bersatu dengan Yesus yang terurapi. Jadi,
istilah Kristus kosmik tidak menyangkut hal yang historis tertentu melainkan
meliputi seluruh dunia dan seluruh sejarah; dibedakan (tanpa dipisahkan) dari
Yesus historis yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sang
Sabda jauh lebih besar dari Yesus sehingga masih tepat bila dikatakan bahwa
segala yang dilakukan manusia Yesus adalah perbuatan manusiawi Sang Sabda.
Sebaliknya, tidaklah tepat bila dikatakan bahwa apa pun yang dibuat Sang Sabda
juga dibuat oleh Yesus dari Nazaret. Dalam artian ini, maka terbuka kemungkinan
menghubungnkan pengalaman religius setiap masyarakat dan kebudayaan dengan
misteri penyelamatan Kristus. Konsili Vatikan II menyatakan universalitas karya
penyelamatan Kristus dalam Gaudium et Spes
22: “Sebab Dia, Putra Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu
telah menyatukan diri dengan setiap orang” (KWI, 1993).
Klaim
universalitas karya penyelamatan Kristus itu tidak mudah untuk diterapkan dalam
konteks Asia yang majemuk. Dengan demikian, akan muncul pertanyaan: Bagaimana
klaim itu diterapkan di Asia? Semetara Gereja mengimani bahwaYesus Kristus
sebagai pengantara antara manusia dan Allah. Kepengantaraan-Nya itu bersifat
satu-satunya dan universal. Dalam Injil Yohanes, misalnya, ditemukan sabda
Yesus: “Tidak ada seorang pun datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh.
14:6b).
Para
pendukung posisi inklusif menjelaskan cara-cara yang Allah gunakan untuk
menyelamatkan manusia dalam Kristus, tanpa mengecualikan para penganut
agama-agama non-Kristen. Sebagian besar teolog Asia mengakui pula karya
penyelamatan Allah dalam Kristus yang melampaui batas-batas Gereja
institusional. Sambil tidak jatuh dalam relativisme (yang menegasi keunikan dan
keuniversalan mediasi Kristus) dengan menyejajarkan begitu saja peran Yesus
Kristus dengan pendiri dan figur-figur religius agama-agama lain. Posisi mereka
dapat dikatakan sejalan dengan pengakuan Paus Yohanes Paulus II yang
menyatakan: “Bentuk-bentuk
mediasi yang diikutsertakan, dari bermacam-macam jenis dan tingkatan” ( Redemptoris
Missio, no. 5)
Sementara
itu, beberapa Teolog Asia progresif mendefenisikan kembali Yesus dalam suatu
konteks yang dipenuhi para tokoh pendiri agama-agama, pengajar-pengajar hikmat
dan pemberita-pemberita kebenaran. Ada juga yang menyelidiki kesamaan-kesamaan
Yesus dengan pendiri atau figur dalam agama-agama Asia.
Aloysius
Pieris, misalnya, melihat pula kemiripan antara Sidharta Gautama dan Kristus
yang sama-sama merupakan perantara pembebasan. Pieris mengamati bahwa dalam
buddhisme dan kekristenan terdapat pengalaman-pengalaman inti yang sama-sama
menyelamatkan. Bila dalam buddhisme terdapat pengalaman akan gnosis atau
pengetahuan membebaskan, dalam kekristenan terdapat pengalaman kasih yang
menyelamatkan (2003:
hlm 80).
Kesamaan
antara Sidharta Gautama dan Kristus juga diamati oleh Seiichi Yagi. Menurutnya
, keduanya mendapatkan penerangan budi. Sidharta Gautama setelah merenungi
hidup dan penderitaan manusia tiba pada pemahaman akan empat kebenaran mulia
sebagai jalan pembebasan bagi manusia. Intinya adalah pembebasan manusia dari
hal-hal yang sia-sia dan fana yang telah memenjarakan manusia. Hal yang sama
terdapat ketika Yesus mengecam penafsiran yang kaku atas hukum Taurat dan
mengajarkan tentang Kerajaan Allah yang membebaskan (2003: hlm. 48).
*Penulis
adalah biarawan Fransiskan, tinggal di Waena-Jayapura,
Papua
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment