CATATAN LEPAS
Headline
Tuhan dan Aku di Sebuah Patahan Waktu
Sunday, March 15, 2020
0
Terasvita
– Kita
hidup dalam patahan-patahan waktu. Kita beranjak dari patahan yang satu ke
patahan yang lain, sejak terbentuk dalam rahim ibu hingga kembali pulang ke
rahim ibu bumi ketika maut badani datang menjemput.
Ini kisah di satu sore, belasan tahun silam. Persis
di tahun 2009. Hanya lupa hari, tanggal, dan bulannya. Kisah monumental dari
seorang manusia yang terus mencari dan menyusuri lorong hidupnya.
Begini: Sore itu, hujan di kota panas itu mulai reda,
menyisakan rintik-rintik. Tubuh yang ambruk dihantam sakit dan penyakit sudah
sepekan terbaring lemah di sebuah poliklinik. Sore itu mulai membaik. Selang
infus sudah boleh dilepas dari tangan.
Dari seorang perawat di poliklinik itu, saya mendapat
kabar kalau dalam hitungan jam saya akan diizinkan pulang ke asrama. Senang
tentu saja. Karena, saya bisa kembali
berkumpul bersama teman-teman. Selain itu, (terutama) tagihan poliklinik tidak semakin membengkak.
Tubuh yang berangsur membaik itu tidak cukup membuat
saya merasa senang “yang mati punya”. Saya sudah jenuh dengan situasi
poliklinik itu. Sepi. Tak ada teman yang mengunjungi. Tak ada gawai untuk
sekadar berselancar di dunia maya. Yang ada hanya tembok putih dan kain-kain
sprei putih. Kosong.
“Rezeki anak soleh yang tidak dicintai oleh ‘si soleha’ memang tidak ke mana-mana”. Dalam sepi yang akut tetiba kepala
poliklinik itu, seorang biarawati SMSJ, datang ke ruang inapku. Ia menyapaku seadanya.
Sedikit saja basa-basi.
Kepada biarawati asal Manado itu, saya meminta koran
untuk menawarkan rasa jenuh dan sepi yang akut itu. Tak berselang lama,
biarawati itu kembali ke ruang inapku itu dan membawa sebuah buku dan sebuah koran
lokal: “Pos Kupang”.
Senang yang “bukan main” ketika saya mendapatkan dua
bahan bacaan itu. Setidaknya, senja yang terbantai sepi itu berlalu. Saya pun
mulai melahap bahan bacaan itu. Pos Kupang
diabaikan, saya lebih jatuh cinta dengan buku itu.
“Fransiskus: Nabi Masa Kini” demikian judul buku
itu. Saya membacanya dari halaman judul sampai di halaman daftar pustaka. Penuh
perhatian. Sejak di halaman awal, saya sudah jatuh cinta dengan buku itu: diksi
dan terutama kisah tentang tokoh utama di buku yang bersampul putih itu.
Berapa
persentase yang terserap dari
keseluruhan kisah di buku itu, saya tidak tahu persis. Mungkin tidak terlalu
penting dan tidak mendesak. Apalagi, toh tidak ada ujian setelah itu. Tidak ada
hukuman kalau saya tidak mengingat isinya. Sekalipun seluruh isi buku itu tidak
ada satu pun yang membekas di ingatanku.
Akan tetapi, yang saya alami tidak demikian. Potongan kisah di
buku itu membekas di ingatanku. Ada detak jantung yang berbeda dengan kisah tokoh di buku itu. “Ia seorang
kaya, tetapi kemudian dia meninggalkan kekayaan itu lalu memilih menjadi orang
miskin dalam arti yang sempit dan dalam arti yang luas.” Begitu buku itu mengisahkan sosok bernama Fransiskus.
Tambahan pula, Fransiskus amat sayang dengan binatang-binatang dan tumbuhan-tumbuhan. Hidupnya ceria. Pengikutnya banyak. Pakaiannya berwarna
coklat dan sederhana. Dia punya sahabat yang baik bernama Klara. Dia mencintai Tuhan secara
lebih sempurna. Dll.
Entah. Di mana irisan dengan pengalaman hidup saya dengan kisah-kisah itu, saya juga tidak tahu. Yang pasti, saya tertarik dengan
kisahnya. Semacam ada suara yang menggema kuat dalam hati saya: "Mari, ikutlah aku!"
Jujur saja, saya jatuh cinta dengan cara hidup yang
dirintis Fransiskus. Benihnya ditabur mulai dari sana: dari buku usang itu,
di beberapa halamannya ada banyak coretan dan banyak lembar yang sudah
terlepas dari jepitan.
Catatan
Akhir: Bukan Sebuah Kebetulan
Saya toh merasa itu bukan sebuah kebetulan.
Sebagaimana peristiwa-peristiwa lain dalam hidup saya; tidak mudah bagi saya
untuk begitu saja menerimanya sebagai kebetulan. Pun peristiwa yang terjadi atas kebebasan orang lain yang tidak
begitu mudah saya jangkau untuk menolak atau menerimanya, saya selalu berusaha menerima bahwa ada maksud baik Tuhan di baliknya.
Peristiwa di sore yang hujan dan saya yang terbantai sepi
itu, saya menerimanya sebagai peristiwa iman.
Di dalamnya lebih banyak Allah yang berperan daripada kebebasan saya. Pasalnya, di kemudian hari, saya tidak mengalami kebuntuan untuk memilih jalan mana untuk melanjutkan perjalanan saya dalam rangka mendekatkan diri dengan Yang
Ilahi.
Dalam perjalanan waktu, saya akhirnya memilih
menapaki jalan yang dirintis Fransiskus. Namun, berhenti di tengah jalan,
setelah 4 tahun mengikutinya. Tetapi, perjalanan empat tahun itu, tapak demi tapak, sangat memukau bagi saya. Dan, saya
banyak diubah oleh warisan spiritualitasnya; yang saya temukan dari lautan sumber tertulis tentangnya dan juga yang dihidupi oleh
pengikut-pengikutnya yang lain.
Cara pandang saya terhadap Bapa, harta, takhta, wanita, dan alam ciptaan juga amat dipengaruhi oleh tokoh ini. Setidaknya sampai saat ini.
Mudah-mudahan esok dan nanti masih tetap sama. Atau, kalaupun tidak, setidaknya
ada bekas-bekasnya "dikit", demikian kata teman angkatan saya yang masih setia dengan panggilannya, di suatu
waktu.
(bersambung)
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment