Headline
Perspektif
Rian Safio - debu di alas kaki Pencipta
yang berjuang menjadi manusia dan semakin manusiawi.
Tidak Lebih. Kita Hanyalah Debu di Alas Kaki Pencipta
Wednesday, March 4, 2020
0
![]() |
ilustrasi |
Terasvita.com– Tidak lebih. Juga tidak kurang.
Pas. Di hadapan Sang Pencipta, kita__manusia yang tampan dan pas-pasan, cantik
dan “parah", kaya dan miskin, berpendidikan dan buta huruf, orang kota
atau orang kampung__hanyalah debu. Ya. Debu. Di alas kaki-Nya pula.
Kisah
penciptaan kita mengatakan itu. Bahwasanya, demikian diinformasikan dalam
Kejadian 2:4-25, kita memang diciptakan dari debu tanah. Pencipta mengambil
tanah dan meniupkan nafas pada debu tanah itu. Lalu terbentuklah manusia itu.
Itu terjadi pada hari keenam. Dan Sang Pencipta melihat ciptaan-Nya itu baik
adanya.
Sesederhana
itu Pencipta menciptakan manusia. Hanya sedikit lebih istimewa__dan menyiratkan
tanggung jawab__ Sang Pencipta menciptakan manusia seturut
gambar-Nya. Itu saja. Selebihnya, manusia tetaplah debu di alas kaki Sang
Pencipta.
Namun,
yang jadi soal itu di sini: manusia tidak menyadari diri kalau ia terbuat dari
tanah. Lupa atau sengaja lupa. Tidak sadar atau sengaja tidak sadar. Tidak tahu
dan sengaja tidak tahu. Pokoknya libas. Sikat habis. Dia begitu pongah dan
tamak.
Kepongahan
dan ketamakan itu menyata atau “men-daging” dalam akumulasi harta yang
berlebihan, eksploitasi alam, ketidakadilan, pemiskinan, kekerasan (pembunuhan,
terorisme, dll), bencana alam dan kemanusiaan, dan aneka ancaman nyata terhadap
manusia dan ciptaan lainnya (bdk. Gita Sang Surya, Mei
– Juni 2011).
Selain
itu: Ini. Manusia tidak tahu dan tidak mau memikul tanggung jawabnya. Ia
sengaja diciptakan lebih istimewa dari ciptaan lain, yaitu seturut gambar dan
rupa Sang Pencipta (imago Dei). Tetapi, yah itu. Ia masih saja lupa. Padahal
Tuhan Allah su bilang, ehh kau jangan bertempur, tetapi masih saja kau
bertempur…
Tanggung
jawab manusia sebagai imago Dei adalah
ia dituntut untuk berada dalam kondisi baik, benar, adil, dan teratur. Kondisi
itu, kata mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam pesan perdamaian tahun 1990,
adalah prasyarat terjadinya harmoni kehidupan dan hidup di bumi (Gita Sang
Surya, ibid).
Tanpa itu, hidup dan kehidupan di bumi kaco balo hancur
berantakan sebagaimana wajah dunia yang terluka kini dan (di sini?).
Benar
saja toh. Sekarang tidak sulit untuk menjumpai manusia satu memangsa yang lain
dalam peristiwa perang, genosida, penjualan dan perdagangan orang, pembunuhan,
dll. Juga dalam kejahatan ekologis: pertambangan terbuka, pembalakan liar, dll.
Lalu, apa? Kita mau apa dan apa yang
kita mau? Ada baiknya, di masa retret agung ini, saya, Anda, dia, kita, dan
mereka merenungkan puisi “HANYA DEBULAH AKU” karya Sulaiman Otor OFM (2012): Aku debu //Debulah
aku //Biarlah
debu kembali ke debu //Abu
kembali ke abu //Hanya
debu debu debu debu debulah aku //Hanya
debulah debulah debulah debulah debulah //…//Hanya
debulah aku //Debulah
aku hanya debulah aku debulah aku hanya debulah aku debulah //Hanya
debulah aku //Hanya
debulah aku //Hanya
debulah aku //Hanya
hanya hanya hanya hanya hanya hanya hanya hanya //…//Hanya
debulah aku //Aku
hanya debu //Debu //Debu (lih. http://www.lontarpos.com). Ia. Kita
hanyalah debu di alas kaki Sang Pencipta. Selamat menjalani masa puasa
yang diawali dengan menerima abu debu pada Rabu, pekan yang
lalu.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment