Headline
Perspektif
Pengungsi dan Paradigma yang Dipilih
Saturday, February 1, 2020
0
Terasvita.com -
“Bagaimana Anda mengetahui kapan malam telah berakhir dan kapan hari baru
dimulai?" Demikian pertanyaan seorang guru spiritual kepada murid-muridnya.
“Ketika Anda melihat seekor binatang
dari kejauhan dan dapat membedakannya apakah itu seekor sapi atau kuda,” jawab
seorang murid menimpali pertanyaan sang guru.
“Salah,” sahut sang guru, “etika
Anda menatap wajah setiap laki-laki dan mengenalinya sebagai saudaramu; ketika
Anda menatap wajah setiap perempuan dan mengenalinya sebagai saudarimu. Kalau
Anda tidak melakukan hal ini, entah hari menunjukkan pukul berapa menurut
perhitungan matahari, hari masih tetaplah malam."
Cerita sederhana, namun
menyiratkan pesan yang mendalam ini ada dalam tulisan Anthony de Melo, “Taking
flight: A Book of Story Meditations”, sebagaimana dikutip Thomas
Hidya Tjaya dalam “Enigma Wajah Orang Lain (2012: 157-158).
Pertanyaannya: Apa
relevansi cerita tersebut? Hemat penulis, dalam beberapa tahun belakangan ini,
dunia "direpotkan" dengan membeludaknya para pengungsi dari Suriah ke
Eropa. Situasi genting ini menggugah sekaligus menggugat rasa simpati, empati,
dan solidaritas dari banyak orang. Sebagai contoh sekaligus simbol, Paus
Fransiskus membawa 12 orang pengungsi ke Vatikan.
Sebelumnya, pemimpin
Gereja Katolik sedunia ini telah menunjukkan sikap keterbukaan untuk
menerima para pengungsi seperti mengimbau gereja-gereja Katolik untuk menjadi
kamp pengungsi, menyerukan dan mendesak negara yang relatif damai untuk
menyelamatkan jutaan nyawa pengungsi.
Tindakan
keberpihakan kepada para pengungsi juga ditunjukkan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Tidak ada yang menyangka, kanselir negeri panser yang terkenal
dengan julukan pemimpin tangan besi itu, begitu melunak terhadap para
pengungsi. Kebijakannya menerima para pengungsi menuai kritik dari kelompok
sayap kanan Jerman dan mengancam kursi kekuasaannya. Namun, rupanya
kritikan-kritikan yang datang bergelombang kepadanya diabaikan karena hatinya
“terusik” dengan suara mendesah menahan sakit dan penderitaan dari para
pengungsi.
Benang
Merah Tindakan Paus Fransiskus dan Merkel
Paus
Fransiskus dan Angela Merkel adalah dua dari ribuan orang yang telah berempati
dengan para pengungsi. Banyak cara, tenaga, dana, bahkan nyawa dipertaruhkan
untuk menyelematkan para pangungsi. Di mata mereka, kaum pengungsi adalah
mutiara yang mesti diselamatkan.
Namun,
tidak sedikit pula yang menutup hati. Pintu-pintu masuk para pengungsi dibentengi
dengan kawat duri dan dikawal ketat oleh mereka yang lengkap dengan laras
panjang. Padahal, dengan mata telanjang mereka menyaksikan jutaan orang,
tua-muda, pria dan wanita diterjang gelombang di samudra lepas karena dibuntuti
senjata oleh saudara senegeri di tanah sendiri.
Apa
yang dicari oleh mereka yang peduli pengungsi: Popularitas? Pencitraan?
Kebanggaan? Bukan! Hal-hal macam itu tidak sempat terpikirkan di hadapan jutaan
wajah manusia dan kemanusiaan yang terluka. Di sana, wajah-wajah itu, meminjam
istilah Emanuel Levinas, adalah undangan untuk peduli. Kita merengkuh mereka
dan mencium luka-luka mereka.
Thomah
Hidya Tjaya SJ mengatakan, kemusnahan atau kematian yang lain karena
arogansi manusia lain mesti mengusik kita untuk mencegah; kematian memang
sebuah keniscayaan tetapi tidak untuk kematian karena kebrutalan dan kekerasan
(2012: 161).
Paradigma
yang Dipilih
Di
hadapan yang lain terutama pengungsi dan semua wajah yang terluka, cara
berpikir atau paradigma yang dipilih adalah (semestinya) paradigma “saudara”.
Fransiskus Assisi, tokoh spiritual Gereja Katolik pada Abad Pertengahan,
menghidupi cara berpikir itu. Ia menyapa yang lain sebagai saudara. Yang paling
radikal adalah ia mencium dan memeluk orang kusta, kalangan yang dimarginalkan
pada masa itu.
Dalam
paradigma “saudara”, yang mungkin terjadi adalah kepedulian dan penerimaan akan
diri yang lain tanpa syarat. Bahkan, lebih dari itu, merayakan kehadiran yang
lain sebagai anugerah. Kehadirannya disyukuri.
Paus
Fransiskus dalam Laudato Si (2016) menyebut bumi sebagai rumah
kita bersama. Konsekuensinya setiap orang berhak tinggal di dalamnya, selain
tentu saja ada kewajiban untuk merawatnya. Kalau demikian, seharusnya yang lain
diterima sebagai saudara.
Mengikuti
pertanyaan guru spiritual yang ada dalam kisah de Mello, seperti diceritakan di
awal, pertanyaan hampir serupa juga ditanyakan kepada saya, Anda, kita, dan
mereka (sekarang): Kapan kita mengetahui kita manusia (beragama pula)?
Ketika
kita mengenal si Budi sebagai orang Jawa? Ketika kita mengenal si Ani
sebagai orang Flores? Ketika kita mengenal si Malala sebagai orang Pakistan?
Bukan! Ketika saya dan Anda, tanpa ragu dan penuh kesadaran: menerima,
merangkul, dan memeluk yang lain apa adanya sebagai saudara dan saudari:
menerima para pengungsi di rumahmu sebagai keluarga barumu, saudara/i barumu.
Ketika kita merawat dan mencium luka-luka mereka yang terluka oleh ketidakadilan,
keserakahan, arogansi, perang, dan kepongahan penguasa, pengusaha, oknum-oknum
kriminal, dll.
Jika
tidak demikian yang terjadi, saya, Anda, dia, kita, dan mereka masih perlu
belajar menjadi manusia. Yang Kristen belajar menjadi manusia pada Yesus, yang
Muslim belajar menjadi manusia pada Nabi Muhammad SAW, yang Budha belajar
menjadi manusia pada Sidharta Gautama, dll.***
Rian
Safio - tulisan ini pernah diterbitkan di majalah Gita
Sang Surya dan jpicofmindonesia.com.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment