Hannen Abdel Khaleg
Headline
Pengungsi
TOKOH
Eks-pengungsi Terpanggil Menjadi Pembela Pengungsi
Thursday, February 27, 2020
0
![]() |
Hannen Abdel Khaleg adalah eks pengungsi. Pengalaman menjadi membuatnya merasa terpanggil untuk ikut membela para pengungsi. Foto: google.com |
Terasvita -
Manusia hidup dalam tiga dimensi waktu, yakni masa lalu, masa kini, dan masa
depan. Masa lalu adalah wilayah kenangan, masa kini adalah wilayah kenyataan, dan masa
depan adalah wilayah harapan. Ketiga dimensi itu dalam satu tarikan garis lurus.
Hannen Abdel Khaleg hidup dalam tarikan ketiga dimensi waktu itu.
Perang teluk tahun 1990 mengubah bentangan sejarah hidupnya. Juga sejarah masa
depannya. Peristiwa pada 30 tahun silam itu memaksa perempuan berparas
cantik itu mengungsi dari tanah kelahirannya, Palestina.
Saat itu, ia masih berusia sepuluh tahun. Tak sepenuhnya ia
mengerti sebab musabab situasi genting tersebut. Ia bersama keluarga dan
sejumlah warga Palestina berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Mula-mula di Suriah, Yordania, Qatar kemudian berujung di negeri Kanguru,
Australia.
Hannen, sapaannya, memahami betul getirnya jadi pengungsi. Untuk
Haneen, pengungsi-mengungsi-pengungsian merupakan hal-hal eksistensial. Ia
tidak mengetahui hal tersebut dari cerita-cerita orang, berita-berita media,
tetapi dialaminya sendiri; pernah tergores membekas dalam lembaran sejarah
hidupnya.
Ketika gelombang pengungsi membajiri Eropa beberapa tahun
silam, ia ditawari beasiswa untuk mempelajari Migrasi Internasional Hubungan
antaretnis di Universitas Malmo, Swedia. Kesempatan itu tak
disia-siakannya. Bak gayung bersambut, ia menerima tawaran tersebut.
"Pada saat itu banyak orang yang tiba di Swedia dari
tempat-tempat, seperti Suriah, Irak, dll. Di situ, saya
melihat dampak perang yang membuat orang harus meninggalkan tanah kelahiran dan
hidup terlunta-lunta di pengungsian," ungkap Hannen.
Dia mengutarakan, belajar bersama mahasiswa internasional lainnya
dari negara-negara Afrika, Asia, dan Timur Tengah memperkaya pengalamannya
sebagai mahasiswa master di Malmö. Di kampus itu, ia mendapat banyak pengalaman
dan informasi seputar pengungsi yang membajiri Eropa.
“Kami dapat berbagi pengalaman dan pandangan yang berbeda tentang
hal-hal yang sedang para pengungsi. Perbedaan pandangan itu amat berharga bagi
saya,” tambahnya lagi.
Untuk Hannen, masalah pengungsi merupakan masalah pelik. Di Eropa
sudah mulai timbul gelombang penolakan. Ada ketakutan masyarakat Eropa
terhadap kehadiran para pengungsi dari Timur Tengah itu.
"Ada banyak masalah yang dihadapi para pengungsi di Libanon
terutama masalah dokumen hukum. Sangat melelahkan melihat situasi yang
semakin memburuk dan banyak pengungsi yang tidak bertahan dan ingin kembali ke
Suriah," cerita Hannen.
Seabrek kesulitan yang dihadapi tidak menyulutkan semangat
perempuan berparas cantik itu. Mencium luka pengungsi di tengah kegetiran hidup
di pengungsian sudah biasa dilakoninya. Tak sejengkal pun ia ingin mundur dan
ingin hidup dalam kenyamanan.
Di masa mendatang, Hannen bermimpi bisa membawa perubahan
pada kebijakan migrasi internasional. Menurutnya, kebijakan yang prokemanusiaan
memudahkan para pengungsi mendapatkan perlindungan. Namun, untuk
saat ini, kata dia, masih nyaman di lapangan. Ia bisa
berinteraksi langsung dengan para pengungsi.
"Mungkin sedikit klise, tetapi yang paling penting adalah
melakukan perubahan-perubahn kecil. Orang-orang yang mengungsi menjalani
periode paling buruk dalam sejarah hidup mereka. Saya ingin
mendukung mereka dengan segala cara yang bisa saya lakukan," tutup
Hannen.
Rian Safio - Diolah dari berbagai sumber. Tulisan ini
pernah dipublikasikan di jpicofmindonesia.com.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment