Di Sini Kami Lapar, di Sana Kamu Membuang-buang Makanan
![]() | |
|
Untuk
generasi milenial bisa saja ada pergeseran. Misalnya, soal sandang dan papan
bisa jadi kebutuhan sekunder dan handphone, colokan handphone, dan jaringan
internet/paket data menjadi kebutuhan primer. Toh zaman memang sudah berubah.
Tetapi, kapan pun dan di mana pun, soal pangan tetaplah menjadi kebutuhan
primer.
Emang
ada yang bisa hidup tanpa makan? Anak mahasiswa yang jauh dari orangtua dan
tinggal indikos mungkin saja bisa tahan sampai empat hari tidak makan, itu pun
dengan bantuan air isi ulang. Tetapi, soalnya air juga dibeli. Bukan barang
bebas yang kita kenal dari pelajaran ekonomi zaman dulu. Dengan kata lain,
kebutuhan akan pangan tidak pernah bisa ditunda.
Masalahnya,
krisis pangan sering melanda umat manusia di banyak tempat. Banyak yang
terkapar mati karena kelaparan dan gizi buruk. Sebagai contoh, Data Dinas
Kesehatan Provinsi NTT menunjukkan, dari Januari-Mei 2015, ada 1918 anak,
harapan masa depan NTT menderita gizi buruk. Sebelas di antaranya harus
menyerah di hadapan beringasnya penderitaan akibat gizi buruk alias meninggal
dunia. Sementara yang dalam taraf kekurangan gizi sebanyak 21.134 anak.
Problem
krisis pangan yang berujung pada masalah gizi buruk dan kelaparan tentu saja
karena banyak faktor. Apakah karena alam mulai enggan…bersahabat dengan kita
dalam menyediakan kebutuhan perut kita? Hohoho… Coba kita tanya pada rumput
yang bergoyang… Semoga ada jawaban yang kita didapatkan. Kalau tidak ada, mari
kita lanjut perjalanan ini…Kita ke negeri Tirai Bambu, China.
Menurut
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dikutip dari
China Daily-Asia Weekly, February 26- March 3, 2016, makanan yang cepat rusak
seperti buah-buahan dan sayur-sayuran banyak terbuang-buang di China. Lima
belas persen yang terbuang saat penyimpanan pascapanen, 10 persen saat distribusi dan konsumsi. Sementara untuk
jenis kentang, sekitar 20 persen yang terbuang-buang.
Masih
menurut OECD, sekitar 1,3 juta juta ton setiap tahun makanan yang terbuang-buang
di China, Jepang, dan Korea Selatan. Jumlah tersebut sekitar 28% dari jumlah
makanan yang terbuang-buang secara global. Sektor yang sangat besar
berkontribusi dalam persoalan ini, yaitu sektor katering dan restoran. Masing-masing sektor ini menyumbang 10%.
Selain
dua sektor itu, sektor lain yang paling banyak membuang-buang makanan, yaitu
sektor rumah tangga. Sekitar 10,2% gandum yang dibuang-buang di
provinsi-provinsi bagian Utara-China, 8,8% di bagian Barat, 7.4% di sekitar
Sungai Yangtze, dan 5% di Sekitar Sungai Kuning.
Data-data
tentang banyaknya makanan yang dibuang-buang mendorong pemerintah China untuk
melakukan perbaikan. Sejak tahun 2016 sampai tahun ini (2020-red), Pemerintah
China mendorong pengembangan cara baru untuk mengolah bahan pangan yang lebih
berkualitas, efisien, adil, dan berkesinambungan. Yang menjadi perhatian meraka
adalah pada saat panen, distribusi, dan
konsumsi.
Mengatasi
persoalan itu, langkah praktis yang mereka lakukan adalah membuat lemari
pendingin dan membangun infrastruktur yang baik. Hal ini untuk mengatasi saat
pascapanen dan saat distribusi. Sementara, untuk pada tahap konsumsi, mereka
menekan restoran-restoran untuk tidak membuang-buang makanan.
"Perjalanan"
kita negeri China menyibak bahwa krisis pangan kerap bukan karena alam enggan
mulai bersahabat dengan kita… Alam masih bersahabat dengan kita. Yang jadi soal
adalah sikap manusia yang bangga dengan salah dan dosa-dosa: membuang-buang
makanan. Itulah bencana kemanusiaan yang dihadapi anak-anak manusia zaman ini.
Paus
Fransikus dalam sebuah audiensi mingguan di Lapangan St. Petrus, Rabu 5 Juni
2013 lalu mengecam keras budaya membuang makanan di tengah dunia yang semakin
konsumeris zaman ini. Ia menilai sikap membuang makan itu sama seperti merampas
habis nasi di piring-pring orang miskin.
“Kakek-nenek
kita biasa menasihati kita agar jangan membuang makanan sisa. Konsumerisme telah membuat kita terbiasa
menyisakan makan setiap hari dan kita gagal melihat nilai sejatinya. Membuang
makanan sama dengan mencuri dari meja mereka yang miskin dan lapar,” kecam
pemimpin spiritual 1,2 miliar umat Katolik seluruh dunia itu.
Benarlah
apa yang dikatakan pemimpin spitirual sekaligus pemimpin Negara Vatikan itu.
Pasalnya, menurut data Food and Agriculture Organization of United Nations
(FAO), ada 870 jiwa di dunia yang menderita kelaparan dan 2 miliar yang
mengalami gizi buruk. Sementara itu, di sisi yang lain, sekitar 1,3 miliar
metrik ton makanan atau setara dengan sepertiga dari makanan yang diproduksi
untuk konsumsi manusia, dibuang setiap tahunnya.
Akhirnya,
doa orang lapar, gizi buruk dari pinggiran rel, kolong jembatan, emperan toko,
dll untuk orang kaya dan yang berlagak kaya, yang suka membuang-buang makanan:
Dear Tuhan, untuk saudara/i kami orang kaya dan yang berlagak kaya yang kerap
merampas makanan dari piring kami, kami memberitahukan di sini kami lapar, di
sana kamu membuang-buang makanan. Anda makan dengan sopan, tanpa
membuang-buangnya, kami pun segan! ***
Rian
Safio. Tulisan ini hanya sebuah kegelisahan penulis ketika menjumpai fakta
banyaknya makanan yang dibuang begitu saja dan saat bersamaan ada banyak orang
yang menderita kelaparan.
Leave Comments
Post a Comment