Headline
Perspektif
Catatan Seorang Biarawan untuk yang Sedang di Depan "Gadget"
Monday, February 24, 2020
0
![]() |
Foto: dokumen pribadi |
Terasvita– Ini hanya sebuah
catatan lepas. Tidak dalam kapasitas menggurui atau menceramahi. Tidak juga
untuk “gagah-gagahan”. Betul-betul sebuah catatan lepas. Tidak
lebih. Pas. Tentu saja boleh diabaikan, tetapi baik juga juga kalau dipikirkan
dengan serius, sambil ngopi atau apalah.
Begini: Kita hidup di
zaman “maju” yang ditandai dengan, salah satunya, kemunculan teknologi super
canggih di bidang komunikasi dan informasi. Dalam banyak aspek kehidupan,
kemajuan itu menuntut kita untuk meninggal sarana dan prasarana juga gaya-cara
hidup yang konvesional, jadul, dan primitif. Kita
"dipaksakan" untuk hidup selaras zaman atau kalau tidak kita dilindas
kemajuan itu.
Pada tataran yang
positif, kemajuan itu memudahkan kita dalam banyak hal: komunikasi,
bisnis, dll. Sebagai contoh sederhana, ketika kita ingin makan sasi goreng,
kita tidak harus keluar dari kamar. Kita bisa pesan via grabfood,
dan aplikasi sejenisnya; ketika kita ingin mengetahui indahnya kota Paris,
Perancis, kita tidak harus ke Paris. Dengan duduk di kamar kemudian searching
saja di google, di hadapan kita tersaji informasi yang lautan
banyaknya tentang kota Paris, audio, visual, dan audio-visual.
Lantas, pertanyaannya
yang muncul kemudian adalah: Apakah aneka kemajuan itu sungguh membantu kita
menjadi semakin manusiawi? Pertanyaan ini mungkin sederhana, namun tidak begitu
mudah untuk dijawab. Setiap orang punya jawaban-jawaban masing-masing.
Mudah-mudahan!
Akan tetapi, tidaklah
berlebihan kalau kita harus mengakui bahwa aneka kemajuan itu juga mengikis nilai-nilai
yang seharusnya mendasari cara berada kita sebagai manusia. Kita tergerus atau
bahkan terlindas oleh kemajuan itu; kita menjadi budak darinya.
Kemajuan itu secara
pasti membentuk “gaya hidup” baru dalam diri kita, yakni kita menjauh realitas
konkret di sekitar. Kita terasing dari ruang dan waktu riil hidup kita. Tidak
terlalu sulit untuk membuktikannya: setiap hari hati kita membaca informasi dan
menonton berita tentang banyak orang kelaparan yang diabaikan, yang
kehilangan tempat tinggal hidup terlunta-lunta di pinggi jalan tanpa ada
sapaan, anak-anak yang asyik dengan dunianya sendiri tanpa ada orangtua yang
mengarahkan, dll.
Rasa-rasanya hampir
tidak ada hati yang peduli; yang mengulurkan tangan kasih untuk pengemis yang
lapar, penghiburan bagi yang dirundung duka, yang memberikan pengharapan yang
mengalami kecemasan, tumpangan untuk yang mengungsi, kunjungan untuk yang
sakit.
Di hadapan muka kita
melalui tangkapan layar gadget yang kita miliki hanyalah
kemewahan, keindahan, euforia, tertawa-tawa, dll. Hampir jarang kita menjumpai
wajah yang lebam, wajah yang lapar, wajah yang cemas, wajah yang “karam”
terlindas karang ketidakadilan, dan lain-lain.
Hemat kami, hal ini kita
menemukan akarnya pada kurangnya sentuhan langsung dengan realitas yang ada di
sekitar kita. Kehadiran gadjet menggerus ruang perjumpaan konkret kita dengan
yang lain (the others). Seperti ketika kita ingin makan nasi goreng, kita tidak
harus keluar dari kamar, kita pesan saja lewat online.
Akibatnya, kita kehilangan kesempatan untuk menjumpai bocah yang mengemis demi
sesuap nasi untuk malam itu saja, dll.
Pada tataran ini;
pertanyaan apakah kemajuan khususnya gadjet ini membuat kita
semakin manusiawi, harus ditangguhkan untuk dijawab. Mengapa? Karena kita
semakin bertumbuh semakin manusiawi (hanya) melalui perjumpaan dengan yang
lain, tanpa perjumpaan yang konkret tidak mungkin ada peduli dan bela rasa
dengan yang lain. Dalam dan melalui kepedulian dan bela rasa itulah bukti bahwa
kita bertumbuh semakin manusiawi.
Sdr. Abril Dosantos OFM - Biarawan
Fransiskan- Fundasi Antonio de Lisboa, Tim-Tim Timor
Lorosae. Sedang menjalani tahun pastoral di Ekopastoral Fransiskan,
Pagal-Flores.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment