CATATAN LEPAS
Headline
Senja dan Rindu untuk Talang Perindu
Sunday, January 5, 2020
0
![]() |
Gambar: https://suarapapua.com |
Terasvita.com - Angin senja berhembus pelan.
Sentuhannya mengalun sendu di antara bunga yang bermekaran di taman kota ini.
Ia sengaja menyapaku dan menerpa sepi yang kuseduh di cangkir kopi buatan ibu
pemilik kosku.
Tentang "kecanduanku" pada
kopi mungkin tak ada duanya lagi. Kopi bagaikan sahabat setia yang menawarkan
sepiku. Begitulah aku. Caraku merayakan sepi, di banyak kesempatan, hanya
dengan kopi. Apalagi, kalau mencicipinya di ujung senja: serasa tak ada yang
lain, selain aku dan... (apa saja).
Demikian pun rindu. Ia terus
menemani kesendirian yang sedang kupeluk erat. Burung kenari bersiul lembut di
atas kepala. Sementara itu, aroma kopi serta sentuhan angin sore berhasil
membawaku pada rindu yang terdalam.
Aku merindukan kampung halamanku,
talang perindu. Pada senja yang kesekiaan di bawah langit kota ini, segudang
kisah di talang perindu itu memanggil pulang.
Aku sendiri di sini dan kini:
mengais kepingan rindu yang bersemayam di langit-langit senja. Jiwaku melayang
jauh di sudut-sudut waktu kala masih sebagai bocah di talang perindu. Kepingan
kisah kasih di sana mengekal dalam kenangan.
Sekarang, aku di kota ini. Jauh dari
talang perindu itu. Aku sadar, kota ini tak butuh jiwa yang lemah dan
raga yang rapuh mematung dalam rindu akan yang lalu dan mungkin tak pernah
terulang kembali. Tetapi, aku tak bisa mengingkari, yang lalu selalu mengundang
rindu. Tak bisa diabaikan begitu saja, selain harus merengkuhnya dalam hati
yang nanar.
Aku memilih menulisnya. Karena,
kutahu bahwa rindu yang menderu hanya bisa dijinakkan dengan tangan yang menari
membentuk gugusan kata-kata dalam rangkaian kalimat-kalimat. Tentu saja ada
cara lain. Tetapi, aku memilih menulis.
Begini. Di talang perindu itu
kujumpai keramahan orang-orang desa nan sederhana. Kurasakan kehangatan dekapan
kasih dari orang-orang terkasih. Kala senja tiba dan rinai mengguyur, aku dan
mereka bersimpuh di sekitar sapo (tungku api) menikmati jagung
bakar, ubi bakar, kopi, dll.
Kutemukan keindahan dan kedamaian di
sekitar sapo yang kumal itu. Sekarang aku berpikir, apalagi
yang dicari kalau sudah menjumpai keindahan dan kedamaian itu? Mengapa harus
lari dari kenyataan indah dan damai itu dan malah "tersesat" di kota
ini?
Aku tak mau menjawab
pertanyaan itu. Hanya, di atas kota tua ini, aku (harus) menjahit
kembali batin yang robek. Dalam Sunyi. Dalam Sepi. Aku tak peduli.
Keindahan senja di kota ini tak seindah senja di kampung halamanku. Di sana,
tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Di sana, ari-ariku dikuburkan. Di sana
lebih indah.
Andai saja jarum sejarah bisa
diputar kembali ke masa-masa itu, aku ingin menikmatinya sesempurna mungkin.
Karena, aku tahu, suasana itu tak pernah terjadi kembali di kota ini.
Hanya saja perjalananku masih
panjang dan perjuangan pun belum usai. Dan, aku masih terus berkelana di kota
ini, mencari dan menemukan aneka mutiara untuk hari esok agar
keindahan talang perindu disempurnakan oleh mutiara-mutiara indah dari
perjuanganku di kota ini, Kota Pahlawan.
Kuakhiri senjaku yang menawan.
Padamu, kopiku, yang selalu setia menemani setiap sepiku, kutitipkan
rindu ini pada dia dan mereka yang pantas dirindukan. Di pundak petangmu,
kutitip rindu pada setapak kasih dan kisah di kampung halaman, talang
perindu.
Salam hangat dariku, perempuan
penyeduh kopi: Indra Gamur.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment