Headline
Perspektif
Di Malam yang Hujan bersama "Namaku Lazarus"
Tuesday, November 5, 2019
0
![]() |
Gambar: dokumen pribadi |
Terasvita.com - Di malam yang hujan, persis
di branda kost-ku, saya duduk. Sendirian saja. Sudah biasa dan terbiasa. Kadang
memang saya mencintai kesendirian. Saya menyeduh segelas susu
putih. Lalu, menyeruputnya pelan-pelan. Nikmat. Apalagi...
Kemudian, saya
mengambil "Namaku Lazarus: Merangkul Bisikan Kerahiman", sebuah buku
yang kubeli selepas makan siang pada Selasa (5/11). Saya membacanya
pelan-pelan. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Dan, paragraf
demi paragraf.
"Namaku
Lazarus" berhasil manarikku pada suasananya. Saya terbawa pada apa yang
ingin disuarakannya. Yaitu tentang ungkapan yang jujur dan apa adanya dari sang
penulis, Tano Shirani, akan hidup yang rapuh dan "mudah pecah ini".
Di halaman-halaman awal nuansa itu terasa.
Bahasa yang sederhana
dan lugas. Serta kalimat yang singkat terasa enak "dikunyah". Hampir
sama terasa mengunyah jagung goreng ibu di Kampung Wontong, persis di kala hujan begini beberapa tahun lalu. Tak terasa, sudah
belasan halaman kata-kata yang saya "kunyah".
Hingga, di halaman
empat belas, saya berhenti. Saya terhentak oleh kalimat ini: "Ini adalah
kisah tempat kita semua mungkin bisa secara jelas bercermin. Ini adalah kisah
hidup, mati, dan bangkit. Ini adalah kisah keberhasilan dan
kejatuhan yang memalukan. Ini adalah kisah yang mengejutkan. Ini adalah tentang
kita manusia yang tidak lagi bisa menulis kisah seperti yang kita impikan
sebelumnya. Ini adalah kisah kita manusia yang harus menyerahkan pena kehidupan
kepada Sang Penulis Agung. Kegagalan dan aib bukanlah bab terakhir
kisah hidup. Tuhan kembali memegang pena. Ia masih menulis kisah itu. Entah
rangkaian kata seperti apa yang sedang ditulis. Entah siapa yang akan membaca
dan memahaminya. Entah sampai kapan."
Saya Ingat Diriku dan
Temanku
"Namaku
Lazarus" membawaku pada jalan pulang. Jalan pulang itu adalah sebuah lorong
sunyi yang jarang sekali kulalui. Di tengah hiruk-pikuk mencari nafkah dan
gegap gempita ibu kota, lorong itu menjadi begitu asing, bagai rumah yang penuh
sarang laba-laba dan rayap, karena lama tak ada "yang hidup di sana".
Lorong itu adalah diriku
sendiri. "Namaku Lazarus" menghadapkan aku di depan diriku sendiri.
Seperti di hadapan sebuah cermin: Aku sedang menatap diriku. Aku makhluk
yang rapuh dan "mudah pecah".
Tetapi, "Namaku
Lazarus" juga mengingatkan bahwa hidup manusia tak pernah sepenuhnya hancur oleh dosa dan kegagalan. Di tangan Sang Tukang Priuk yang sabar
itu, hidup yang "terpecah-pecah" bisa dibentuk
kembali menjadi bejana yang berguna asal kita mau dibentuk kembali oleh-Nya
(bdk. Yeremia 18:1-17).
Selain membawaku pada
jalan pulang diriku sendiri, petikan kalimat yang membuat saya terhentak di
dalam "Namaku Lazarus" itu mengingatkan saya pada seorang kawanku,
RH. Seorang kawan kalaku di bangku sekolah lanjutan pertama.
Hari ini, ia banyak
dicaci maki. Nama-nama penghuni kebun binatang disematkan padanya. Tak
terhitung kata dan kalimat yang bernada kutukan. Hal itu, lantaran
aksinya yang sangat tidak terpuji. Pada tataran tertentu, kata-kata makian, dan
kutukan itu belum setimpal dengan akibat dari perbuatannya. Ia pantas
menerimanya.
Sebagai luapan
kemarahan, kekecewaan, kejengkelan barangkali wajar. Tetapi, untuk
memulihkan korban tentu saja tidak. Jauh di relung hatiku berkata, "Untuk
apa?" Tetapi, sudah. Semua orang punya hak.
Untuk korban saya
berharap dan berdoa agar mengalami kesembuhan total dari luka dan trauma
akibat perbuatan kawanku itu. Tetapi, untuk sang pelaku, kawanku itu,
barangkali kata-kata Tano Shirani dalam "Namaku Lazarus" meneguhkan: "Kegagalan dan aib bukanlah bab akhir dari kisah hidup. Tuhan kembali
memegang pena. Ia masih menulis... apa yang Ia mau tulis dalam
lembaran hidup kita."
Tidak seorang pun yang
pada saat dilahirkan, memulai sekolah, memilih profesi, dll,
memilih untuk menjadi orang jahat atau melanggar nilai-nilai dan atau ingin
merusak kehidupan orang lain. Namun demikian, kehendak baik tetaplah
harus berangkulan dengan kerapuhan insani (hlm. 9).
Rian Safio, Jakarta, 5/11/2019, pukul 19.15.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment