Headline
Resensi
Agama Tetap Relevan di Zaman Post-Sekular
Friday, November 1, 2019
0
![]() |
Gambar: istimewa |
Terasvita.com - Bagaimana agama-agama menempatkan
diri agar tetap relevan di tengah dunia yang pluralistik: agama, budaya,
sistem-sistem nilai, dan pandangan hidup? Pertanyaan besar ini coba
dijawab Prof. Dr. Adrianus Sunarko OFM, Uskup Keuskupan Pangkalpinang melalui
karya intelektualnya berjudul “ Agama di Zaman Post-Sekular: Sebuah Refleksi
Teologis”.
Dalam
mengupas pertanyaan besar itu, doktor teologi lulusan Freiburg itu
membaginya dalam beberapa bagian sebagai berikut. Pertama, “Memberi Nama
pada Zaman Ini: Post-Sekular?”; Prof. Narko, sapaannya, menjelaskan,
post-sekularisme menunjuk pada kondisi sekaligus tantangan bagi kelompok
sekular bahwa agama (yang beragama) untuk saling belajar satu sama lain
sehingga masing-masing pihak memainkan peran yang tepat dalam negara demokratis
(hlm. 16-17). Untuk konteks Indonesia, Prof. Narko melihat, pilihan demokrasi
yang khas Indonesia dan perdebatan soal dasar negara pada awal
kemerdekaan menandakan secara normatif konsep post-sekular sudah dihadapi
bangsa ini.
Kedua,
“Agama di Ruang Publik: antara Liberalisme dan Komunitarisme”. Pada
bagian ini, penulis buku “Teologi Fundamental dengan Paradigma
Kebebasan” ini mendiskusikan secara lebih spesifik tantangan masyarakat
post-sekular terkait peran agama dalam percaturan kehidupan. Dalam kaitan
dengan itu, sang penulis menghadirkan perdebatan antara liberalisme dan
komunitarianisme. Liberalisme dalam arti tertentu memaksa agama untuk bermukim
di ruang privat dan tidak mengotori ruang publik dengan simbol-simbol yang
partikular (agama). Sementara, kaum komunitarian mengklaim agama-agama punya
andil dalam masyarakat sebagai sumber pandangan hidup dan manusia riil selalu
terikat dengan budaya, agama, etnis, dll.
Ketiga,
setelah mendiskusikan tantangan masyarakat post-sekular, pada bagian ini, mantan
pengajar di STF Driyarkara itu menyajikan bahwa menentukan mana yang harus
dipilih antara dua kutub perdebatan tersebut bukan kapasitas agama atau
teologi. Yang mendesak ditanggapi oleh agama dan teologi adalah menentukan dan
menemukan posisi epistemis atau rasionalitas iman di hadapan kenyataan agama
dan pandangan hidup yang plural, otoritas ilmu pengetahuan. Selain itu, agama
dan teologi dituntut menemukan sikap yang tepat di hadapan fakta bahwa yang
berlaku dalam politik adalah bahasa-bahasa sekular. Dalam kerangka Gereja
Katolik, Konsili Vatikan II dengan lahirnya Dokumen Dignatatis
Humanae, Prof. Narko melihat sebagai upaya menemukan posisi epistemis
atau rasionalitas iman itu.
Akhirnya,
tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa buku ini layak dibaca oleh semua
kalangan. Pasalnya, dalam pembacaan kami, buku ini menyajikan dan menguraikan
secara mendalam bagaimana seharusnya agama atau teologi mengupayakan diri agar
tetap relevan di zaman post-sekular ini. ***
Rian
Safio, versi cetak tulisan diterbitkan di HIDUP, No. 42, 18
November 2019.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment