Tuan atas Kekuasaan, Bukan Budak!
![]() |
Gambar: http://wawai.id/ |
Terasvita.com - Tahun politik. Demikian kita
menjuluki tahun-tahun di mana kita menggelar Pemilihan Umum (Pemilu). Tahun
2018 yang lalu, misalnya, disebut tahun politik, karena pada tahun itu dihelat
Pemilihan Kepala Daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) secara serentak di
171 daerah otonomi. Hal yang sama juga pada tahun 2019; kita sebagai bangsa dan
negara menggelar pesta akbar, yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan
Presiden (Pilpres) secara serantak.
Tahun 2020 ini, kita kembali masuk dalam tahun
politik kendati di tengah darurat kesehatan dan ekonomi sebagai ekses wabah
corona atau Covid-19. Ada dua 270 daerah yang terdiri atas 9 provinsi, 224
kabupaten, dan 37 kota yang menggelar Pemilukada pada 9 Desember mendatang.
Para kandidat sudah jauh-jauh hari blusukan di tengah masyarakat untuk merebut
simpati rakyat pemilih. Tak lama lagi rakyat pemilih masuk ke dalam bilik suara
dan menentukan siapa yang akan memimpin mereka selama lima tahun ke depan.
Yang terbaca dari momen-momen politik seperti ini
adalah adanya antusiasme warga. Antusiasme itu, secara amat sederhana terbaca
dalam tingkat partisipasi publik baik dalam masa kampaye maupun pada saat
pemilihan. Masyarakat berjubelan menghadiri kampanye para calon tak peduli
dengan ancaman Covid-19 saat ini. Protokol Kesehatan di banyak tempat banyak
dilanggar demi menghadiri kampanye.
Sementara dalam konteks partisipasi saat
pemilihan, misalnya, pada momen politik 2019, menurut data KPU Republik
Indonesia, tingkat partisipasi masyarakat mencapai angka 81 persen. Angka ini
mengalami peningkatan dibandingkan pada Pemilu 2014 yang hanya mencapai angka
70 persen.
Di samping antusiasme yang tinggi, setiap momen
politik juga diwarnai model kompetisi yang tidak sehat. Dusta, kebencian,
amarah, dan rasa jijik terhadap yang berbeda pilihan pun berseliweran dan
nyaris tak terkendalikan. Dengan kata lain, cara yang tidak halal pun dipakai
untuk mencapai hasrat: “Aku yang Berkuasa; Jagoan Kami yang Harus Menang; dll.”
Kampaye berbau SARA amat kental dari Pemilu ke Pemilu yang dimulai sejak
Pilpres 2014 lalu. Sentimen-sentimen primordial mewarnai ruang publik baik
prapemilu maupun pascapemilu.
Di hadapan fenomene seperti itu: Lalu apa?
Mungkin demikian pertanyaan kita, entah kita ucapkan ataupun hanya mendiami
ruang terdalam hati kita, pertanyaan itu tentu ada. Begini: Memang tidak
identik. Akan tetapi, yang namanya politik, entah itu Pileg, Pilkada, Pilgub,
Pilwakot, dan Pilpres, selalu terkait dengan kekuasaan. Orang berani bertarung
jor-joran tenaga dan duit demi merebut kekuasaan. Yang penting kekuasaan itu
jatuh pada genggamanku. Atau: jagoanku harus menang!
Pada titik inilah, pertanyaan yang lebih
substansial muncul: "Apakah manusia itu masih menjadi tuan atas
kekuasaan?" masih sangat relevan untuk diajukan (kembali). Siapakah
manusia itu di hadapan kekuasaan: Tuan atau budak? Jawabannya bisa tuan dan
bisa budak. Sangat tergantung pada kualitas pribadi masing-masing orang.
Menurut hemat kami, ada tiga ciri orang yang
masih menjadi tuan atas kekuasaan. Ketiga ciri itu adalah sebagai berikut.
Pertama, cara mendapatkan kekuasaan itu sesuai konstitusi dan
nilai-nilai demokrasi. Orang yang menjadi tuan atas kekuasaan tidak akan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Thomas Aquinas
(1227-1274) mengatakan, “Finis non iustificat non medium / tujuan akhir tidak
boleh menghalalkan segala cara” (Pius Pandor, 2010). Konsisten dengan ciri itu,
maka seharusnya tidak ditemukan calon pemimpin yang menggunakan isu SARA untuk
meraih kekuasaan; praktik beli suara dan mahar politik juga seharusnya tidak
ada.
Kedua, sikap lepas bebas terhadap kekuasaan. Ciri
yang kedua ini adalah seseorang (pemimpin atau calon pemimpin) bisa menempatkan
diri sebagai subjek yang bebas di hadapan kekuasaan. Ia mengambil jarak dalam
garis yang asimetris terhadap kekuasaan. Kekuasaan tidak merengkuhnya. Ia tetap
sebagai subjek yang otonom dan bebas. Aktualitasnya bisa dilihat dalam
keputusan-keputusan yang diambil, yaitu keputusan-keputusan yang tidak hanya
diambil untuk mempertahankan kekuasaan. Demi bonum comune, semestinya dia
rela jika kebijakan itu kemudian membuat dia harus kehilangan kekuasaan; dia
rela untuk tidak popular atau tidak tersandra oleh politik elektoral.
Ketiga, memandang kekuasaan sebagai medan
pelayanan. Pemimpin, entah itu sebagai presiden, gubernur, bupati, dll, tidak
lebih dari pelayan masyarakat/rakyat. Rakyat adalah tuannya. Seorang yang tetap
menjadi tuan di hadapan kekuasaan melihat kekuasaan tidak lebih sebagai medan
pelayanan terhadap sesama (baca: rakyat). Kekuasaan bukan tuannya; melainkan
sarana untuk menyejahterakan dan mengusahakan kebaikan tuannya yang sejati,
yakni rakyat. Maka, yang diperjuangkan adalah kepentingan rakyat.
Berpatokan pada tiga ciri tersebut dan tentu saja
ada ciri-ciri yang lain; kita bisa menilai diri kita dan juga pemimpin-pemimpin
kita termasuk calon-calon pemimpin kita baik di legislatif, eksekutif maupun
yudikatif: Tuan atau budak kekuasaan? Menyitir Lord Acton: Kekuasan itu
cenderung korup dan apalagi kekuasaan yang absolut..., maka, kekuasaan__selain kemewahan untuk mengusahakan kebaikan bersama__ juga kekuasaan itu sendiri bisa membuat kita menjadi " defesit manusiawi".
Oleh karena itu, kita mesti menjadi tuan atas kekuasaan. Menurut hemat kami, hal itu dimulai dari menjernihkan cara pandang terhadap kekuasaan. Perlu
revolusi cara berpikir atau paradigma terhadap kekuasaan. Asumsi dasarnya, kendati Thomas Kuhn dalam soal perubahan paradigma tidak bermaksud merefleksikan tentang kekuasaan__sebagaimana disitir Sonny Keraf__ bahwasanya pemahaman kita tentang realitas___termasuk realitas kekuasaan sebenarnya__menentukan cara kita mendekati dan menyikapi realitas tersebut (2014: 9).
Dengan demikian, mengikuti cara berpikir Kuhn,
agar kita tidak menjadi budak kekuasaan, maka perlu mengubah cara pandang. Bahwasanya,
kekuasaan bukan ladang memperkaya diri, bukan untuk gagah-gagahan, bukan
kesempatan untuk memperkaya kroni dan keluarga; melainkan locus untuk mengupayakan bonum commune.
Persis di sinilah peran lembaga pendidikan baik formal (sekolah) maupun nonformal (keluarga) untuk mengasupi isi kepala anak-anak atau individu-individu dengan cara pandang yang jernih terhadap kekuasaan, yaitu tempat atau kesempatan untuk mengupayakan kebaikan bersama.
Selain lembaga pendidikan, juga lembaga keagamaan berperan sangat menentukan
dalam membentuk cara pandang atau paradigma seseorang terhadap kekuasaan.
Dakwah-dakwah atau khotbah-khotbah di mimbar-mimbar keagamaan mesti menyuplai
cara pandang yang baik, benar, dan indah tentang kekuasaan.
Rian Safio, Alumnus STF Driyarkara-Versi cetak tulisan ini pernah dipublikasi di majalah Gita Sang Surya, Vol.13, No.3, Mei-Juni 2018. Namun, ada sejumlah tambahan sehingga sesuai dengan konteks sekarang.
Leave Comments
Post a Comment