Di Bawah Senja Suil: Sebuah Catatan Pulang
![]() |
Gambar: dokumen pribadi |
Terasvita.com - "Anda memiliki kenangan untuk dilihat kembali hari ini," demikian facebook memberitahu saya ketika saya asyik meng-edit sebuah buku. Kebetulan saya mengais rezeki dengan pekerjaan sebagai editor di sebuah penerbit, Kamis siang (29/08/2019).
"Kami
harap Anda menikmati kilas balik kenangan di Facebook, dari kenangan terbaru
hingga kenangan lama," tambah aplikasi buah karya Mark Zuckerberg itu.
Info
itu seraya menampilkan sebuah foto yang saya unggah pada 29 Agustus 2017,
persis 2 tahun lalu. Dalam foto tersebut, sebagaimana ditampilkan di latar
tulisan ini, ada saya (tengah), Eu (kiri), dan Juan (kanan). Sebenarnya, selain
kami bertiga, ada Weng, sang fotografer, dan sang ayah. Mereka berdua tidak ada
dalam foto tersebut.
Dua
potong kalimat itu cukup membuat saya berhenti sejenak dari pekerjaanku. Saya
seolah-olah dibawa ke suasana foto yang disertakan bersama dua potong kalimat
itu. Tangan saya pun seolah-olah "patah" untuk melanjutkan pekerjaan
yang sudah kugumuli dari pagi.
Akhirnya,
saya pun melakukan perjalanan pulang, yaitu pulang ke senja di sebuah kebun
kami, Suil, terletak di lintasan Wontong -Tehang, Flores, medio Juni 2016,
tempat di mana foto itu diambil.
Catatan
tentang pulang itu pun di mulai. Begini. Selalu ada yang indah, yang kekal
dalam kenangan, kala bersama dengan orang-orang yang kita cintai dan mencintai
kita apa adanya. Hal yang sama juga saya alami ketika bersama dengan dua adik
saya yang ada di foto tersebut, juga Weng dan sang ayah kala itu.
Apalagi
peristiwa itu terjadi di kebun, tempat dulu kami mengais-ngais remah-remah
berkat Tuhan. Panas terik matahari dan rinai-rinai hujan bagai simfoni indah
yang mengiringi perjuangan sekadar untuk mendapatkan sesuap nasi di kebun
tersebut. Syukur-syukur kalau bisa nabung untuk beli baju baru saat Natal tiba.
"Lait
pa'it, detak nggera; dempul wuku tela toni, hitu po tua ye hang gula, remong ye
hang leso, agu paeng lite hang mane," begitu kalimat "Go'et
Manggarai" yang selalu direfrein oleh sang ayah kala kami bermalas-malasan.
Maksudnya
jelas: Di bawah kolong langit ini tidak ada yang ada dan kita nikmati begitu
saja, tanpa berjuang hingga berpeluh-peluh keringat dan darah. Harus kerja
keras. Kecuali, kita mau jadi perampok atau koruptor. Dan itu tidak halal.
Back
to cerita kami di Bukit Suil pada tiga tahun lalu itu. Sebuah catatan perjalanan pulang (liburan) setelah saya
berhenti meniti "Jalan Tuhan" di jalan yang dicetus Fransiskus
Assisi, seorang tokoh revolusioner dalam Gereja Katolik pada Abad Pertengahan.
Pada
senja hari itu, Bukit Suil cantik sekali. Cantik. Langit kemerah-merahan.
Burung-burung terbang sesuka mereka. Beruntung, saya sudah mencecap sedikit
spirit "persaudaraan semesta" dari Fransiskus Assisi, sehingga saya
membiarkan burung-burung itu terbang.
Padahal, dua adik saya yang "ganteng-ganteng" itu sebenarnya lincah untuk menembak burung dengan ketapel. Tetapi, sore itu mereka saya cegat untuk tidak melakukan kebiasaan (buruk?) mereka itu.
"Jangan!
Burung-burung itu saudara kita," begitu untaian kata yang saya lafalkan
dengan terbata-bata waktu itu. Entah. Mungkin karena masih "mabuk"
spiritualitas fransiskan. Hehehe...
Mendengar
kalimat tersebut, dua adik saya yang jarang mandi itu bingung. "Kok
saudara kita? Saudara dari mana?" Begitu saya membaca kebingungan mereka.
Tentu wajar mereka bingung. Saya yang terlalu goblok untuk menerjemahkan dengan
bahasa sederhana gagasan besar Orang Kudus ber-KTP Kota Assisi, Italia itu.
Entah.
Di
Bawah Senja Suil: Tiga tahun silam. Itu salah satu pengalaman menikmati senja
terbaik yang pernah saya torehkan. Pasalnya, setelah sekian tahun melanglang
buana di ibu kota dan dijejali dengan berbagai keruwetan, seperti macet,
polusi, rasa jijik terhadap yang berbeda (baca: politik identitas; aksi 212),
dll, akhirnya saya menikmati udara yang segar dan kasih yang terus mengalir.
Tidak macet, yang ada kebun yang luas dan nyaris tak terawat, karena sang ayah
sudah semakin tua.
Di
purnanya senja di Bukit Suil kala itu, saya melihat sang ayah. Dia masih setia
mendadap pohon aren untuk menghasilkan moke. Pekerjaan itu, ia tekuni semenjak
saya mulai meniti pendidikan di Seminari Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, 2008.
Kesetiaannya
dan direstui berkat Sang Empunya semesta ini, sang ayah bisa menyekolahkan
kami. Senja di Bukit Suil itu pun selesai. Kami: saya, sang ayah, Weng, dan
kedua adik saya, pun pulang ke rumah untuk melanjutkan malam hari itu. Dan saya
menemukan semangat untuk melanjutkan perjuangan, setelah berhenti dan merasa
patah.
Sepenggal
Refleksi
Kita
memang harus pulang ke tempat di mana kita pertama kali menemukan dan merasakan
cinta; tempat atau periode di mana kita pertama kali menemukan semangat untuk
meniti masa depan; tempat itu tentu saja sebuah tempat yang kita tidak pernah
dilibatkan dalam berdiskusi apakah kita mau atau tidak dilahirkan di situ.
Pulang
ke tempat di mana ari-ari kita dikuburkan itu menumbuhkah kembali harapan. Ada
sukacita. Ada kedamaian. Ada persaudaraan. Saling sapa. Hanya saja, yang bikin
kita rinduk untuk pulang ke kampung kita atau lebih tepatnya ke keluarga
masing-masing kalau ada cinta dan kenangan dicintai dan mencintai di sana.
Dalam
sebuah kesempatan retret ketika di belakang nama saya masih ada
"embel-embel" O-ef-em, saya lupa kapan dan di mana persisnya,
pembimbing retret mengarahkan kami untuk kembali pulang ke
"Galilea" kami masing-masing, yaitu tempat atau waktu di mana pertama
kali merasa terpanggil.)***
Rian Safio, penikmat senja, tinggal di Jakarta.
Leave Comments
Post a Comment